By Asqi Resnawan on 8:50 PM
Media asing sepertinya terus mengamati perkembangan politik antara dua kandidat presiden menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 mendatang.
Setelah The Sydney Morning Herald, kini media Amerika Serikat, Wall Street Journal (WSJ), ikut mengulasnya. Dalam pemberitaan tanggal 29 Juni lalu, WSJ mengulas elektabilitas Joko Widodo (Jokowi).
Artikel berjudul, Widodo's Polls Lead Drops in Bid for Indonesia Presidency, WSJ menyoroti elektabilitas Jokowi yang kian waktu terus merosot. Tiga bulan lalu, hasil survei elektabilitas menunjukkan Jokowi jauh memimpin 25 poin dari pesaingnya, Prabowo Subianto. Kini, perbedaan itu kian tipis.
”Sampai-sampai pasar telah memposisikan (Joko Widodo) menang. Ada asumsi yang menyudutkan Prabowo yang disebut tidak bisa duduk nyaman dengan investor,” kata Wellian Wiranto, ekonom dari OCBC Bank, Singapura, seperti dikutip dari WSJ, Minggu 29 Juni lalu.
WSJ memberitakan, merosotnya elektabilitas Jokowi karena berbagai faktor. Salah satunya karena diisukan dia keturunan etnis China dan beragama non-muslim. Kemudian pamor Jokowi di media televisi mulai pudar. Media televisi kini cenderung bergeser ke capres Prabowo.
Merosotnya elektabilitas Jokowi ditengarai tak lepas dari kesalahan cara Timses Jokowi mematahkan serangan kampanye hitam. Misalnya menyebarkan fotokopi buku nikah Jokowi dan istrinya yang terbukti bukan etnis China. Kemudian, menyebarkan foto-foto Jokowi ketika berziarah ke Mekkah sebagai bukti Jokowi muslim.
Di sisi lain, Tim Prabowo tegas membantah sebagai pihak yang melakukan kampanye hitam kepada Jokowi. Upaya tim Jokowi untuk melawan berbagai kampanye hitam itu, dianggap sebagai salah langkah.
”Aturan nomor 1 dalam kampanye, jangan biarkan musuh ikut menentukan agenda Anda. Dia (Jokowi) masuk dalam perangkap itu,” kata Marcus Mietzner dari pakar dari Australian National University.
Menurut WSJ, merosotnya elektabilitas Jokowi juga disebabkan pudarnya kepercayaan para pemilih di perkotaan. Mereka mempertanyakan reputasi Jokowi yang tidak tuntas melakukan program-programnya.
Misal, proyek monorel pembangunan waduk di pinggir Jakarta untuk mengatasi permasalahan banjir di Ibu Kota, yang tidak ada kabarnya lagi. Sementara proyek MRT dikabarkan tertunda karena permasalahan pembebasan lahan.
"Mungkin lebih baik Pak Jokowi tetap menjadi gubernur untuk menuntaskan janji-janjinya. Kalau dia sudah bisa membuktikan janjinya, dia bisa mencalonkan diri Pilpres berikutnya," tutur salah seorang pekerja di Jakarta yang dikutip WSJ.
Sementara di sisi lain, Prabowo berhasil memosisikan dirinya sebagai capres yang tegas dan berpandangan luas. Rencananya membangun jalan, kilang minyak, pembangkit listrik, dan membuat Indonesia swasembada pangan dalam waktu 20 tahun mendatang, sangat mempengaruhi pemilih.
Prabowo juga didukung pemilik jaringan media yang juga pimpinan partai politik. "Tren pemilih mengarah ke Prabowo. Jokowi kehilangan pemilih dengan cepat," kata Doug Ramage, Analis Politik BowerGroupAsia Jakarta. (sindonews)
Artikel Terkait
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Pesan yang baik, jangan emosional.Bila ingin mengkeritisi, pakailah dalil yang sahih.Dan identitasnya jelas. Komentar emosional, tidak ditayangkan