Oleh Budi Nurastowo Bintriman
(Kader Muhammadiyah, Alumni Pondok Pesantren
Hajjah Nuriyah Shabran, UMS angkatan 86)
(Arrahmah.com)
– Acara penutupan
lomba MTQ tingkat kabupaten Bantul, DIY tanggal 23 Oktober 2013 yang
dilaksanakan di kecamatan Bambanglipuro diisi oleh Emha Ainun Najib (Cak Nun)
bersama Kiai kanjeng. Ada beberapa hal yang kemudian menarik untuk diulas,
selain dalam acara itu diundang Romo dari gereja setempat untuk bernyanyi
bersama, hal yang disampaikan Cak Nun dalam “dakwahnya” itu penuh dengan
kerancuan.
Disela-sela
bernyanyi Cak Nun menyampaikan pemahamannya terhadap Islam kepada khalayak yang
memenuhi lapangan Sumbermulyo, Bambanglipuro, Bantul, DIY itu. Berikut beberapa
hal yang kemudian menjadi catatan penulis.
Pertama, MH. Ainun Najib (Emha) melontarkan
pernyataan : “Ada sekelompok wong Islam yang sukanya mbidngahke
(membid’ahkan) kelompok lain, sithik-sithik bidngah, sithik-sithik bidngah
(sedikit-sedikit membid’ahkan)”. Emha mengambil contoh, “bar shalat
salaman we bidngah (setelah salat salaman saja dikatai bid’ah), nyanyi
lagu gereja bidngah”, dengan nada sinis, cemoohan, dan nyinyir.
Tanggapan:
Konsep bid’ah satu paket dengan konsep sunnah, sebagaimana halnya konsep
tauhid dengan konsep syirik. Konsep sunnah digunakan
untuk memurnikan ajaran-ajaran Islam. Sedang konsep bid’ah digunakan
untuk mengkomplementasi konsep sunnah itu sendiri. Jika Emha
menginginkan ajaran-ajaran Islam ini tetap terjaga kemurniannya,
maka tak sepantasnya ia melontarkan pernyataan begitu. Kalaupun ia berbeda
pendapat dalam hal konsep bid’ah-sunnah, tak sepantasnya ia melontarkan
pernyataan demikian itu di hadapan khalayak yang masih sangat awam agama.
Kedua, Emha melontarkan pernyataan :
“Iki mesti malaikat bingung melihat kita, ada romo, ada wong tattoan,
ada perempuan ra kudungan, dst… (pluralitas)”. (Ini pasti malaikat bingung
melihat kita, ada Romo, ada orang tatoan, ada perempuan tidak menutup aurat,
dst)
Tanggapan:
Jika tuduhan bingung itu menyasar kepada manusia, maka ia benar adanya,
karena manusia diciptakan dengan nafsu. Tetapi jika tuduhan bingung itu
menyasar kepada malaikat, maka ia salah besar. Justru satu-satunya makhluk
Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang paling akurat kerjanya hanyalah
malaikat, karena ia diciptakan memang untuk itu.
Ketiga, Emha melontarkan pernyataan : “Mulo
dadi wong Islam ki ojo fanatik ! Oleh karena bisanya cuma nyalah-nyalahke
orang lain”. (Maka jadi orang Islam jangan fanatik! Oleh karena bisanya
Cuma menyalahkan orang lain)
Tanggapan:
Konsep / kata fanatik sebenarnya masih mengandung pengertian netral. Yang
mengandung pengertian negatif adalah kata fanatisme. Maka secara bahasa,
fanatik bisa dipahami sebagai kesatuan antara aspek qalbu, aspek
lisan, dan aspek amal (ma huwal iman ?). Dengan demikian, kita justru
dituntut untuk fanatik dalam segala hal (tidak hanya dalam masalah
agama). Ada kejumbuhan antara apa yang diyakini, dengan apa yang katakan,
dengan apa yang diperbuat. Fanatik dan kegemaran menyalah-nyalahkan orang
lain, adalah dua hal yang saling berbeda.
Keempat, Emha menganjurkan tolong-menolong
dalam hal ibadah (Mungkin, contohnya BANSER turut mengamankan perayaan
Natal atau kegiatan suronan 11 November di kota Gede, Yogya yang digagas
bersama GP Ansor yang di situ awal akan menghadirkan Solawatan dari gereja, dan
Kidung Hindu).
Tanggapan :
Di sini Emha tampak ahistoris, naif, dan menyimpang dari arus besar
ahlus-sunnah wal-jama’ah. Apakah Emha telah buta dan tuli,
(terhadap) betapa liciknya pihak nasrani terhadap kita, bahkan terhadap
konsensus kebangsaan kita ? Apakah Emha (dengan Kyai Kanjengnya) kini
hidup di ruang hampa, tanpa konteks, tanpa noktah-noktah sejarah ? Apakah
Emha sudah lupa dengan wanti-wanti dari Allah, bahwa hati kaum nasrani ada
niat terjahat terhadap kita. Mereka hendak memalingkan kita dari nikmat
terbesar ini (Islam). Renungkan, (sekali lagi) renungkan, firman Allah
Ta’ala.
“Wahai
Muhammad, kaum Yahudi dan Nasrani tidak akan pernah senang kepadamu sampai kamu
mengikuti agama mereka. Wahai Muhammad katakanlah “Sungguh Islam itu agama
Allah yang sebenarnya.” Sekiranya kamu mengikuti agama Yahudi dan Nasrani
padahal telah datang kepadamu perintah mengikuti Islam, niscaya tidak ada orang
yang dapat menolong kamu dari siksa Allah di akhirat.” (QS. Al-Baqarah ayat
120), dan
“Wahai
Muhammad, katakanlah kepada kaum kafir. “Wahai orang-orang kafir, aku tidak
akan menyembah tuhan yang kalian sembah, kalianpun tidak menyembah tuhan yang
aku sembah, aku tidak akan mau menyembah dengan cara-cara kalian menyembah
tuhan kalian, dan kalianpun tidak menyembah tuhan kalian dengan cara-cara aku
menyembah tuhanku, untuk kalian agama syirik kalian dan untukku agama
tauhidku.” (QS. Al-Kafirun ayat 1- 6).
Kelima, Emha dengan bangga menceritakan
kehadirannya memenuhi undangan pihak Vatikan. Bahkan di sana, ia (dengan
Kyai Kanjengnya) diijinkan tampil, meski suasana duka atas matinya Paus
masih sangat terasa.
Tanggapan :
Pihak Vatikan mengundang Emha (dengan Kyai Kanjengya) karena bisa memetik
keuntungan. Tidak mungkin, pihak Vatikan akan mengundang pihak lain yang
akan merugikan mereka. Ini sebenarnya telah menjadi gejala psikologis yang
sudah sangat umum. Keuntungan apa yang bisa dipetik oleh pihak Vatikan ?
Keuntungan mendesakralisasi (pendangkalan) ajaran-ajaran Islam
lewat orang-orang Islam sendiri semacam Emha (dan Kyai Kanjengnya). Pada
giliran berikutnya, oleh karena umat Islam telah lemah fikrah dan
ghayahnya, maka kristenisasi akan relatif lebih mudah di laksanakan.
Keenam, Emha sedikit membahas tentang
nama-nama jalan sebelah selatan Tugu Jogja hingga Kraton. Aslinya ada
jalan Margo Utomo, jalan Margo Mulyo, jalan Malioboro, dan Pangurakan.
Filosofinya, terdapat fase-fase (predikat) utomo, (predikat)
mulyo, aplikasi menjadi wali yang fantasyiru fil ard (mengembara), dan
fase hakikat (sak urak-urakane dengan out put karimah). Filosofi ini
sesuai betul dengan nilai-nilai Islam. Di fase inilah Emha bermaqam.
Tanggapan:
Saya tidak akan menyangkal atas klaim Emha itu. Silahkan saja, ia
menginginkan klaim yang lebih tinggi dari fase pangurakan sekalipun,
silahkan. Yang jadi masalah adalah, akhirnya ia juga terjebak pada gejala
(klaim) ”membenarkan diri-sendiri”. Buktinya, ia (terkadang)
menampilkan sikap-sikap murakannya, sebagai bukti bahwa ia dengan Kyai
Kanjengnya telah sampai di maqam pangurakan, di mana sak urak-urakane selalu
ber out-put kebaikan. Bisa jadi, sebagai implikasinya, ia menempatkan
pihak lain di maqam yang masih rendah.
Ketujuh, Emha melontarkan pernyataan /
pilihan kepada audiens : “Sampean pilih dadi wong ra shalat ning apikan atau
pilih dadi wong shalat ning jahat ?”.(kalian memilih jadi orang yang tidak
salat tapi kelakuan baik atau memilih salat tapi kelakuan buru?) Hingga ada
seorang ibu yang protes dan memilih salat plus kelakuan baik, yang
kemudian dikatai Emha “gragas” (rakus).
Tanggapan :
Peristiwa ini mengingatkan saya pada guru sekolah PKI tahun 60-an. Guru
memerintahkan murid untuk minta permen kepada Tuhan. Dalam waktu yang
lumayan lama, tidak ada satu murid pun yang mendapatkan permen.
Lantas Guru memerintahkan murid untuk minta permen kepada Pak Guru. Dalam
sekejap, murid-murid mendapatkan permen. Sang Guru bertanya kepada murid,
“Tuhan sama guru kalian lebih berkuasa yang mana ?”. Artinya, para
murid dikacaukan nalarnya terlebih dahulu, sebelum mencekokkan ajaran-ajaran
komunis.
Ini sama
dengan yang terjadi pada pertanyaan Emha kepada audiens. Ia mengacaukan nalar
para audiens terlebih dahulu, sebelum mencekokkan pemikiran-pemikiran
Emha. Jika Emha bernalar sehat, semestinya pertanyaan itu (setidaknya) ada
empat pilihan : (1) Ada orang tidak shalat berperilaku baik (2) Ada orang
shalat berperilaku jahat (3) Ada orang tidak shalat berperilaku jahat (4)
Ada orang shalat berperilaku baik. Ini jauh lebih variatif, lebih faktual,
lebih obyektif, lebih fair, lebih edukatif, dan tulus bertanya untuk
kepentingan dakwah. Shalat dan kebaikan adalah satu kesatuan konsep yang tak
terpisahkan. Lebih dari itu, shalat adalah amal pembeda antara kita yang muslim
(akan ke surga), dengan mereka yang kafir / tidak shalat (akan ke neraka). Wallahu
a’lam bishshawwab. (arrahmah.com)
Komentarku ( Mahrus ali ):
Kesan saya atas ceramah EMHA itu bukan ceramah atas
dasar Islam yang orsinil tapi islam
yang palsu. Islam ya bukan landasan wahyu tapi Islam yang di
masuki pendapat akal akalan . Ia tidak
membimbing ke jalan yang benar, tapi mengarah ke jalan sesat, bukan ke surga tapi ke Neraka. Ingat saja ayat ini:
أَفَمَن زُيِّنَ لَهُ سُوءُ عَمَلِهِ فَرَآهُ حَسَنًا ۖ فَإِنَّ اللَّهَ يُضِلُّ
مَن يَشَاءُ وَيَهْدِي مَن يَشَاءُ ۖ فَلَا تَذْهَبْ نَفْسُكَ عَلَيْهِمْ حَسَرَاتٍ
ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ بِمَا يَصْنَعُونَ
Maka apakah orang yang dijadikan (syaitan) menganggap
baik pekerjaannya yang buruk lalu dia meyakini pekerjaan itu baik, (sama dengan
orang yang tidak ditipu oleh syaitan)? Maka sesungguhnya Allah menyesatkan
siapa yang dikehendaki-Nya dan menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya; maka
janganlah dirimu binasa karena kesedihan terhadap mereka. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.
Fathir 8
Mau
nanya hubungi kami:
088803080803.( Smartfren) 081935056529 ( XL )
088803080803.( Smartfren) 081935056529 ( XL )
Dengarkan pengajian - pengajianku
Alamat rumah: Tambak sumur 36 RT 1 RW1 Waru Sidoarjo. Jatim.Artikel Terkait
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Pesan yang baik, jangan emosional.Bila ingin mengkeritisi, pakailah dalil yang sahih.Dan identitasnya jelas. Komentar emosional, tidak ditayangkan