JEPARA (voa-islam.com) – Arogansi
murtadin yang menabur penodaan agama menuai badai. Omega Suparno (42),
seorang murtadin dari kota ukir Jepara tewas mengenaskan dieksekusi trio
mujahid setelah terbukti melecehkan Islam secara provokatif. Meski
terancam hukuman mati oleh hukum thaghut, trio mujahid Jepara tak gentar
di jalan Allah.
Murtadin naas warga desa Mayong Kidul,
Mayong Jepara Jateng ini dieksekusi setelah melakukan penodaan agama
terhadap mujahidin dengan melecehkan Al-Qur'an, Allah SWT, Nabi Muhammad
dan Syariat Islam. Sedangkan trio mujahid Jepara yang mengeksekusi
murtadin calon pendeta itu adalah Ustadz Amir Mahmud (29), Sony
Sudarsono (29), dan Agus Suprapto (31).
Ustadz Amir Mahmud adalah alumnus
pesantren tauhid terbesar di kotanya yang sudah malang-melintang di
dunia jihad. Usai menamatkan pendidikan di pesantren tahun 2000, ayah
seorang anak ini ditugaskan dakwah di Lombok, NTB. Tahun 2001, ketika
bumi Ambon bergolak, ia terpanggil untuk berjihad selama 4,5 tahun
membela kaum muslimin yang tertindas.
Sony Sudarsono adalah mujahid yang sudah
malang-melintang berjihad hingga mancanegara. Ayah dua orang anak ini
pernah mengikuti pelatihan jihad di Moro Pilipina. Sedangkan Agus
Suprapto, warga Semper Barat, Cililing, Jakarta Utara, adalah mujahid
yang pernah bergabung bersama kafilah i’dad di Aceh bersama Abu Umar.
Ayah empat orang anak ini sempat menjadi buronan Densus 88 Antiteror
karena jihadnya.
Eksekusi terhadap murtadin calon pendeta
ini bermula pada bulan Oktober 2012, saat Ustadz Amir menerima
pengaduan dari berbagai aktivis di Kudus, mengenai sepak terjang
penginjil Omega Suparno setelah murtad meninggalkan Islam. Setelah
murtad, jebolan pesantren Kudus yang sempat kuliah di IAIN Yogyakarta
ini pindah kuliah ke Sekolah Tinggi Theologia Baptis Indonesia (STBI)
Semarang untuk mengejar obsesi menjadi pendeta.
Setelah data, alamat dan identitas
Suparno terkumpul, Ustadz Amir berkunjung ke rumah Suparno dengan misi
untuk berdialog dan mengkonfirmasi latar belakang kemurtadannya, pada
Selasa sore (11/12/2012).
Mulanya, dialog berjalan biasa saja
seputar perkenalan. “Njenengan leres Mas Suparno, lulusan Ma’ahid yang
pindah agama?” tanya Amir. (Apakah benar anda bernama Suparno, alumnus
Ma’ahid yang sudah pindah agama?). “Inggih, leres,” jawab Suparno
singkat. (Iya, benar).
Namun agenda dialog yang direncanakan tak semulus rencana awal. Dikonfirmasi baik-baik, Suparno malah ngelunjak. Dengan
provokatif, ia memaparkan bahwa imannya dalam Kristen sudah mantap dan
tidak bisa diganggu gugat lagi. Bahwa semua manusia hanya bisa selamat
di surga bila mengimani Yesus sebagai tuhan dan juruselamat. Dosa
manusia hanya bisa dibersihkan dengan tebusan kematian Yesus di ting
salib, dan keselamatannya sudah dijamin 100 persen oleh Yesus.
Untuk mempertegas kesaksiannya, Supar
–sapaan akrabnya– mengumbar pernyataan yang mendiskreditkan Al-Qur'an.
“Al-Qur'an itu tidak ada yang benar, salah semua. Kalau di sini ada
Al-Qur'an, saya injak-injak saja,” ejeknya sambil memeragakan kaki
menginjak-injak lantai rumahnya.
Tak puas menghina Al-Qur'an, Supar
melanjutkan sasaran hujatannya kepada Allah SWT. “Allah itu sebenarnya
kan tidak ada, Allah itu baru diadakan setelah adanya bangsa Arab,” ujar
Amir menirukan Suparno.
Ketika topik pembicaraan beralih kepada
kenabian Muhammad SAW, Supar menyebut Muhammad bukan seorang nabi,
karena kualitasnya hanya selevel dengan Kiyai Jawa. “Nabi Muhammad itu
tidak boleh dikultuskan, karena kenabiannya setara dengan gelar kiyai di
Jawa,” tegasnya.
Tak ada titik temu, dialog diakhiri
ketika azan magrib berkumandang. Sebelum berpisah, keduanya berjanji
untuk melanjutkan dialog lagi esok harinya.
Dialog juga tak berjalan imbang, karena
Supar sebagai tuan rumah mencecar Amir dengan pemaparan seperti orang
pidato. “Saya gak banyak kesempatan bicara, karena Supar bicaranya gak
berhenti-berhenti,” papar Amir kepada voa-islam.com sebelum Sidang di PN
Jepara, Kamis (20/6/2013).
Muwati (40) adik kandung Suparno,
membenarkan adanya pertemuan dialog Suparno dengan Ustadz Amir Mahmud
sehari sebelum insiden eksekusi. “Nggih, rumiyen wonten tamu kalih,
sanjange rencange teng Ma’ahid, tapi adik kelasipun,” ujarnya kepada
voa-islam.com, Kamis (20/6/2013). (Iya, dulu ada dua orang tamu, katanya
adik kelas Suparno di Ma’ahid).
Tapi ia hanya mendengar sekilas dan tidak mengikuti percakapan sampai akhir karena ada urusan lain. “Nopo sing dipermasalahke kulo boten semerap,” jelasnya. (Apa yang dibicarakan mereka saya tidak tahu).
...Mereka adalah orang yang berani mengambil alih beban amanah yang seharusnya dipikul oleh negara, menyelamatkan Syariat agar tidak menjadikannya berdosa...
Esoknya, Rabu malam (12/12/2012) Ustadz
Amir bersama Sony dan Agus mengeksekusi murtadin Suparno di belakang
Ruko Jember Kudus. Setelah tewas, mayat Suparno dibuang ke hutan jati
di Jepara.
Selanjutnya mayat Suparno di area petak
106 hutan jati desa Jinggotan, kecamatan Kembang, kabupaten Jepara pada
Kamis (13/12/2012).
Polisi baru bisa mengungkap identitas
korban sepekan kemudian, pada Rabu (19/12/2012). Setelah pengambilan
sampel tes DNA dan dibawa pulang, jenazah Suparno dibawa ke Gereja
Injili Tanah Jawa (GITJ) Jepara dan langsung dimakamkan malam itu juga
di makam Kristen setempat.
Akhirnya Ustadz Amir, Sony dan Agus dibekuk tim khusus Polda Jateng, Jumat (28/12) di Sragen dan Kudus.
...Saya ingin menyampaikan pesan kepada para murtadin. Jangan sekali-sekali melecehkan Islam. Kalau Islam dihina, nyawa mujahid siap dipertaruhkan...
TEGAR MELAKSANAKAN SYARIAT
Kini, Ustadz Amir Mahmud, Sony
Sudarsono, dan Agus Suprapto menjadi pesakitan di PN Jepara. Sidang
pertama dengan agenda pembacaan Dakwaan digelar pada Kamis (13/6/2013).
Ketiganya terancam hukuman mati, dengan jeratan pasal berlapis, antara
lain: pasal 340 KUHP jo pasal 55 ayat 1 (1); pasal 338 KUHP jo pasal 55
ayat 1 (1), pasal 353 ayat 3 KUHP jo pasal 55 ayat 1 (1); pasal 351 KUHP
jo pasal 55 ayat 1 (1).
Meski hukuman mati mengancam di depan
mata, namun ketiga mujahid muda itu tak gentar. Mereka meyakini amaliah
yang dilakukannya sebagai ibadah. “Melalui amaliah ini saya ingin
menyampaikan pesan kepada para murtadin dan aktivis pemurtadan. Jangan
sekali-sekali melecehkan Islam. Kalau Islam dihina, nyawa para mujahid
siap dipertaruhkan!” tegasnya.
Jihad Trio Mujahid Jepara itu mendapat
dukungan dari Front Pembela Islam (FPI). Pembina Laskar FPI Jawa Tengah,
Ustadz Said Sungkar, menilai tindakan mereka sudah sesuai dengan nas
Syariat yang memberikan sanksi kepada kaum murtadin.
“Sebagai
kewajiban seorang Muslim, Rasulullah SAW mengatakan, "Man baddala
dinahu faqtuluh" (Barangsiapa menukar agama maka bunuhlah dia). Karena
di Indonesia tidak berlaku hukum Islam, maka daripada semua orang Islam
berdosa, maka mereka mengambil alih tanggung jawab itu guna
menyelamatkan umat Islam yang tidak menjalankan syariat,” jelasnya.
“Memang, jika Syariat Islam berlaku maka yang berhak menentukan hukuman
mati (kepada murtadin) adalah qadhi. Tapi karena tidak ada Syariat
Islam, maka Syariat itu berlaku “manistatho’a.” Siapa yang mampu
menjalankan, itu bisa,” tambahnya.
Ustadz Said bahkan memuji ketiganya
sebagai pahlawan pemberani yang siap dengan segala resikonya. “Mereka
adalah orang yang berani mengambil alih beban amanah yang seharusnya
dipikul oleh negara. Tapi karena negaranya berkhianat kepada Syariat,
maka mereka menyelamatkan Syariat agar tidak menjadikannya berdosa,”
tandasnya.
...Dalam agama yang dianut para terdakwa membenarkan tindakan yang dilakukan seperti itu. Dalam dalam keyakinan agama tersangka, ini adalah ibadah dia...
Senada itu, Koordinator Tim Pengacara
Muslim (TPM), Achmad Michdan SH menegaskan bahwa insiden eksekusi Trio
Mujahid Jepara terhadap murtadin Suparno itu bukan kasus pembunuhan
biasa. Pasalnya, eksekusi ini adalah respon para aktivis Islam terhadap
tindakan provokasi murtadin Suparno yang melecehkan Islam dengan
semena-mena. Karenanya, kasus ini tidak bisa diterapkan pasal Pembunuhan
Berencana. “Ini bukan pembunuhan biasa, karena amat nyata dimulai dari
provokasi kebencian terhadap agama lain oleh korban dengan menyudutkan
dan menjelekkan agama lain,” tegasnya.
Michdan mengingatkan, di mata hukum,
tindakan provokasi agama itu memiliki konsekuensi hukum. Dalam hukum
Islam, sanksi terhadap orang yang melecehkan Allah dan Rasulullah adalah
hukuman mati, dan pelaksanaannya dinilai ibadah.
“Keyakinan agama itu diajarkan
sedemikian rupa, dan pelecehan agama itu memiliki konsekuensi secara
hukum,” jelasnya. “Kasus ini betul-betul kasus penghinaan dan pelecehan,
dan dalam agama yang dianut para terdakwa itu membenarkan tindakan yang
dilakukan seperti itu. Dalam dalam keyakinan agama tersangka, ini
adalah ibadah dia,” tandasnya. [a ahmad jundullah]
Artikel Terkait
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Pesan yang baik, jangan emosional.Bila ingin mengkeritisi, pakailah dalil yang sahih.Dan identitasnya jelas. Komentar emosional, tidak ditayangkan