Jumat, Desember 28, 2012

Jawabanku untuk Sarkub.



Apakah Yang Tidak Dilakukan Rasulullah Adalah Bid’ah Sesat ?




Sangat sering kita membaca atau mendengar ucapan, “Mana dalilnya ?”, “Kalau memang itu baik/benar mengapa Rasulallah dan para sahabat tidak pernah melakukannya ?”, “Lau Kana Khairan Ma Sabaquna ilaihi ?”, “Apakah Rasulallah dan sahabatnya pernah melakukannya ?” dan lain sebagainya. Hal ini paling sering diucapkan oleh kelompok Salafy Wahabi dalam memvonis amaliah pengikut I’tiqad Ahlus Sunnah Wal Jamaah, seperti Yasinan, Tahlilan, Maulid Nabi Muhammad SAW., peringatan hari besar Islam, bermazhab, sunahnya mengucap ushalli sebelum takbiratul ihram dan amalan lainnya.
AT TARK
Pertanyaannya adalah apakah “At Tark” yaitu “Rasulallah meninggalkan atau tidak melakukan sesuatu” itu merupakan suatu hukum baru? Bisakah “At Tark” itu dijadikan alat untuk menghukumi suatu amaliah itu makruh atau bahkan haram ? Ataukah “At Tark” itu dianggap Salafy Wahabi hanya sebagai “jembatan” untuk diarahkan ke bid’ah dhalalah, yang semua tempatnya neraka?

Mari kita bahas bersama bagaimana sebenarnya kedudukan “At Tark” ini. “At Tark” yang kita pahami sebagai amaliah yang tidak dilakukan atau ditinggalkan oleh Rasulullah” tidak secara langsung menghukumi sesuatu itu makruh atau haram atau sering disebut kelompok Salafy Wahabi “Bid’ah (Dhalalah)”.
.
Hal ini bisa kita buktikan dari banyak sudut pandang, yaitu :
1.    Dari sudut Ushul Fiqh, larangan jelas ditunjukkan dengan tiga hal :
  • Ada sighat nahi (berupa kalimat larangan).
    Contoh :    
    ولا تقربوا الزن     (Jangan kalian dekati zina)
  • Ada Lafadz Tahrim (Lafadz keharaman).
    Contoh :  
    إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ   (Sesungguhnya Allah mengharamkan bagimu bangkai dst.)
  • Ada Dzammul Fi’l (Celaan/ancaman atas suatu perkara/amal)
    Contoh :  
    من غش فليس منا    (Barang siapa memalsu maka bukan golongan kami)
Dari ketiga dasar ushul fiqh tersebut tidak ada “At Tark” di salah satunya.
.
2.    Nash Qur’an menyebutkan :
        وَمَا آَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
(“Apa yang diberikan Rosul bagimu terimalah, dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah” QS. Al Hasyr : 7)
Disini jelas nash Qur’an menggunakan lafadz “Naha” (dilarang), bukan “Tark” (ditinggalkan/tidak  pernah dilakukan)
.
3.    Dalil dari Hadits menyebutkan :
        مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوهُ وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَافْعَلُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ
( “Apa saja yang aku cegah atas kalian maka jauhilah (tinggalkanlah), dan apa-apa yang aku perintahkan pada kalian kerjakanlah semampu kalian”. HR. Bukhori Muslim)
Disini Rasulullah juga tidak mengatakan “Tark” tapi “Nahi” (larangan yang jelas).
.
 Jadi jelas sudah bahwa “At Tark” bukan sumber hukum dan tidak bisa secara otomatis menghukumi sesuatu itu makruh atau haram. Hal ini berbeda dengan qaidah yang baru dibuat oleh Salafy Wahabi yang mengatakan “at-Tarku Yadullu ‘ala Tahrim”. Jelas ini mengada-ada.
.
LAU KAANA KHAIRAN MA SABAQUUNA ILAIHI
Berikutnya adalah sering kita baca atau dengar kalimat

لَوْ كَانَ خَيْرًا مَّا سَبَقُونَا إِلَيْهِ
(Lau Kaana Khairan Maa Sabaquunaa Ilaihi)
Yang diartikan secara asal-asalan oleh Salafy Wahabi :
“Kalau sekiranya perbuatan itu baik, tentulah para Shahabat telah mendahului kita mengamalkannya”
Adakah kalimat itu dijadikan dasar hukum ? ataukah ada sumber dari Ushul Fiqh?
Dengan tegas harus kita jawab tidak ada hal tersebut sebagai sumber hukum untuk menilai halal/haram ataupun bid’ah suatu amaliah. Dan yang paling penting kita ketahui kalimat itu sebenarnya adalah ayat Qur’an surat Al Ahqaf ayat 11. Dalam asbabun nuzul ayat tersebut menyatakan bahwa kalimat tersebut adalah kalimat “orang kafir quraisy “ yang mempertanyakan masuk Islamnya “Zanin”, budak wanita Sayyidina Umar ibn Khattab Ra. Sebelum beliau memeluk Islam.
.
Pantaskah hal itu digunakan sebagai dalil menghukumi suatu amal ??? Dengan tegas jawab tidak bisa. Bahkan hal itu jelas diucapkan oleh orang yang tidak punya ilmu.
.
ASAL IBADAH ADALAH TAUQIF
Selanjutnya yang santer juga diucapkan oleh Salafy Wahabi yaitu “Asal Ibadah adalah haram”. Yang kami temui istilah yang tepat dan banyak disebut ulama adalah “Asal Ibadah adalah Tauqif” bisa dilihat di Kitab Fathul Bari dan beberapa Kitab Ushul Fiqh.
Untuk jelasnya dalam Kitab Ushul Fiqh :
الأصل في العبادات التوقيف
وفي هذه الليلة أود أن أقف عند قضية أساسية في العبادات جميعا وهي قاعدة معروفة عند أهل العلم، أن الأصل في العبادات التوقيف كما أن الأصل في المعاملات والعقود الإباحة، وهذه قاعدة نفيسة ومهمة جدا ونافعة للإنسان، فبالنسبة للعبادات لا يجوز للإنسان أن يخترع من نفسه عبادة لم يأذن بها الله عز وجل، بل لو فعل لكان قد شرع في الدين ما لم يأذن به الله، فلم يكن لأحد أن يتصرف في شأن الصلاة أو الزكاة أو الصوم أو الحج زيادة أو نقصا أو تقديما أو تأخيرا أو غير ذلك، ليس لأحد أن يفعل هذا، بل هذه الأمور إنما تتلقى عن الشارع، ولا يلزم لها تعليل، بل هي كما يقول الأصوليون: غير معقولة المعنى، أو تعبدية، بمعنى أنه ليس في عقولنا نحن ما يبين لماذا كانت الظهر أربعا، والعصر أربعا، والمغرب ثلاثا، والفجر ركعتين، ليس عندنا ما يدل على ذلك إلا أننا آمنا بالله جل وعلا، وصدقنا رسوله صلى الله عليه وسلم، فجاءنا بهذا فقبلناه، هذا هو طريق معرفة العقائد وطريق معرفة العبادات، فمبناها على التوقيف والسمع والنقل لا غير، بخلاف المعاملات والعقود ونحوها، فإن الأصل فيها الإباحة والإذن إلا إذا ورد دليل على المنع منها، فلو فرض مثلا أن الناس اخترعوا طريقة جديدة في المعاملة في البيع والشراء عقدا جديدا لم يكن موجودا في عهد النبوة، وهذا العقد ليس فيه منع، ليس فيه ربا ولا غرر ولا جهالة ولا ظلم ولا شيء يتعارض مع أصول الشريعة، فحينئذ نقول: هذا العقد مباح؛
.
التوقيف في صفة العبادة
العبادة توقيفية في كل شيء، توقيفية في صفتها -في صفة العبادة- فلا يجوز لأحد أن يزيد أو ينقص، كأن يسجد قبل أن يركع مثلا أو يجلس قبل أن يسجد، أو يجلس للتشهد في غير محل الجلوس، فهيئة العبادة توقيفية منقولة عن الشارع
.
التوقيف في زمن العبادة
زمان العبادة توقيفي -أيضا- فلا يجوز لأحد أن يخترع زمانا للعبادة لم ترد، مثل أن يقول مثلا
.
التوقيف في نوع العبادة
كذلك لابد أن تكون العبادة مشروعة في نوعها، وأعني بنوعها أن يكون جنس العبادة مشروعا، فلا يجوز لأحد أن يتعبد بأمر لم يشرع أصلا، مثل من يتعبدون بالوقوف في الشمس، أو يحفر لنفسه في الأرض ويدفن بعض جسده ويقول: أريد أن أهذب وأربي وأروض نفسي مثلا، فهذه بدعة
.
التوقيف في مكان العبادة
كذلك مكان العبادة لابد أن يكون مشروعا، فلا يجوز للإنسان أن يتعبد عبادة في غير مكانها، فلو وقف الإنسان -مثلا- يوم عرفة بالـمزدلفة فلا يكون حجا أو وقف بـمنى، أو بات ليلة المزدلفة بـعرفة، أو بات ليالي منى بالـمزدلفة أو بـعرفة، فإنه لا يكون أدى ما يجب عليه، بل يجب أن يلتزم بالمكان الذي حدده الشارع إلى غير ذلك
.
Jika kita baca penjelasan diatas, maka rangkumannya adalah Asal Ibadah adalah Tauqif (berhenti) pada dalil yang jelas (sahih) baik Qur’an dan hadits. Pengertian berhenti adalah mengikuti pada dalil yang sahih dari Qur’an dan hadits tidak boleh dikurangi, ditambahi, mendahulukan ataupun mengakhirkan. Dijelaskan selanjutnya tauqif itu mengikuti :
1. Tauqif Sifat Ibadah (التوقيف في صفة العبادة)
    dicontohkan dalam penjelasannya :
“tidak boleh untuk menambah dan megurangi. seperti sujud sebelum ruku’, atau duduk sebelum sujud, atau duduk tasyahud tidak pada tempatnya”
2. Tauqif Waktu Ibadah (التوقيف في زمن العبادة)
    dicontohkan dalam penjelasannya :
“tidak boleh seseorang itu membuat buat ibadah di waktu tertentu yang syari’ tidak memerintahkannya”
3. Tauqif Macamnya Ibadah (التوقيف في نوع العبادة)
    dicontohkan dalam penjelasannya :
 “tidak sah bagi orang yang menyembah sesuatu yang tidak di syariatkan, seperti menyembah matahari atau memendam jasadnya sebagian sembari berkata ” saya ingin melatih badanku “ misalkan ini semua bid’ah.”
4. Tauqif Tempat Ibadah (التوقيف في مكان العباد)
    dicontohkan dalam penjelasannya :
“jika seseorang wukuf di Muzdalifah, maka ini bukan haji, atau wuquf di Mina, atau bermalam ( Muzdalifah ) di Arafah, dan sebaliknya, maka ini semua bukanlah sesuatu yang masyru’. kita wajib melaksanakan ibadah sesuai tempat yang sudah disyari’atkan oleh syari’
.
Jadi dari penjelasan diatas jelas bahwa Ibadah yang dimaksud adalah Ibadah Mahdhah yaitu Ibadah yang hanya berhubungan dengan Allah dan telah lengkap dan sempurna penjelasannya dalam Qur’an dan Hadits. Seperti : Shalat, Puasa, Haji, Zakat, berikut syarat dan rukun yang mendampinginya.
.
Maka dalam I’tiqad Ahlus Sunnah Wal Jamaahpun jelas hal ini tidak boleh dikurangi, ditambahi, mendahulukan ataupun mengakhirkan. Semua sudah dalam batasan yang jelas.
Sedangkan pada Ibadah Ghairu Mahdhah yaitu Ibadah yang tidak berketatapan hukum mengikat tapi menjadikan penghubung untuk mencari ridha Allah, maka boleh diadakan selama tidak bertentangan dengan Qur’an dan hadits sahih.
Maka secara umum dalam ushul fiqh terdapat suatu ijma’ ulama yaitu Lil Wasa’il Hukmul Maqashid, artinya “Hukum untuk perantara sama dengan hukum tujuannya”.
Untuk mudahnya contohnya adalah :
“Berzina itu haram, maka menyediakan kamar/rumah untuk berzina itu juga haram”. Maka Berzina itu maqashid (tujuannya) sedang menyediakan kamar/rumah untuk berzina itu wasail (perantaranya). Jika kita cari hukum berzina jelas ada dalilnya, tapi wasailnya tanpa dalil dia sudah berhukum haram.
“Bershalawat adalah perintah (sunnah muakkad) maka mengadakan maulid nabi Muhammad SAW untuk mengenal kehidupan Nabi, membangun kecintaan kepada beliau, termasuk bershalawat didalamnya adalah Sunnah”. Bershalawat adalah maqashidnya sedang memperingati maulid adalah wasailnya.
Dan masih banyak contoh yang bisa kita ambil dalam Ibadah Ghairu Mahdhah seperti Yasinan, Tahlilan, Mengucap ushalli dan lain sebagainya. Terpenting adalah hal tersebut dari sisi maqashidnya tidak boleh bertentangan dengan Qur’an dan Hadits.
Demikianlah pemahaman dalam I’tiqad Ahlus Sunnah Wal Jamaah yang mengikut junjungan kita Rasulullah Muhammad Shalallahu ‘alaihi Wa Alihi Wasallam.
Maka jelas apa yang tidak dilakukan Rasulullah bukan “bid’ah dhalalah (tersesat)”.
.
Dan hal itu sesuai dengan hadits Rasulullah SAW :
مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ
“Barang siapa yang menjalankan suatu sunnah yang baik didalam Islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya dan tidak berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan barangsiapa yang menjalankan suatu sunnah yang jelek didalam Islam, maka baginya dosanya dan dosa orang yang mengikutinya dan tidak dikurangkan sedikitpun dari dosanya” (HR. Imam Muslim Nomor 1017)
Komentarku ( Mahrus ali):

Saya menjawab artikel sarkub di atas secara ringkas saja tidak panjang lebar, karena saya tidak memiliki waktu yang banyak, saya hanya punya waktu sedikit.
Di katakan dalam artikel tsb sbb:
.    Dari sudut Ushul Fiqh, larangan jelas ditunjukkan dengan tiga hal :
  • Ada sighat nahi (berupa kalimat larangan).
    Contoh :    
    ولا تقربوا الزن     (Jangan kalian dekati zina)
  • Ada Lafadz Tahrim (Lafadz keharaman).
    Contoh :  
    إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ   (Sesungguhnya Allah mengharamkan bagimu bangkai dst.)
  • Ada Dzammul Fi’l (Celaan/ancaman atas suatu perkara/amal)
    Contoh :  
    من غش فليس منا    (Barang siapa memalsu maka bukan golongan kami)
Komentarku ( Mahrus ali): 
Bukan tiga hal, masih banyak, seperti la`na  sebagaimana  hadis:
لَعَنَ اللَّهُ مَنْ لَعَنَ وَالِدَهُ وَلَعَنَ اللَّهُ مَنْ ذَبَحَ لِغَيْرِ اللَّهِ وَلَعَنَ اللَّهُ مَنْ آوَى مُحْدِثًا وَلَعَنَ اللَّهُ مَنْ غَيَّرَ مَنَارَ الْأَرْضِ
…………… Semoga Allah melaknat orang yang melaknat orang tuanya, semoga Allah  melaknat orang yang menyembelih bukan  karena Allah, semoga Allah melaknat orang yang memberi tempat kepada ahli bid`ah, semoga Allah melaknat kepada orang yang merobah b atas tanah. HR Muslim dalam kitab sahihnya 173/10
Atau dengan menggunakan ghodhiba atau marah sebagaimana ayat:

مَن كَفَرَ بِاللّهِ مِن بَعْدِ إيمَانِهِ إِلاَّ مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالإِيمَانِ وَلَـكِن مَّن شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْراً
 فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِّنَ اللّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ  
16.106. Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar.  Nahel 106
Dan masih banyak lagi bukan sedikit redaksi al Quran atau hadis yang menunjukkan keharaman bukan kehalalan

Di katakan dalam artikel tsb sbb:
Dengan tegas harus kita jawab tidak ada hal tersebut sebagai sumber hukum untuk menilai halal/haram ataupun bid’ah suatu amaliah. Dan yang paling penting kita ketahui kalimat itu sebenarnya adalah ayat Qur’an surat Al Ahqaf ayat 11. Dalam asbabun nuzul ayat tersebut menyatakan bahwa kalimat tersebut adalah kalimat “orang kafir quraisy “ yang mempertanyakan masuk Islamnya “Zanin”, budak wanita Sayyidina Umar ibn Khattab Ra. Sebelum beliau memeluk Islam.

Komentarku ( Mahrus ali): 
Salafy  dalam menggunakan kalimat : Lau kana khairan itu tidak bisa di salahkan, karena ibn Katsir juga menggunakannya dalam kitab tafsirnya sbb:
.

تفسير ابن كثير - (ج 15 / ص 237)
وَأَمَّا أَهْل السُّنَّة وَالْجَمَاعَة فَيَقُولُونَ فِي كُلّ فِعْل وَقَوْل لَمْ يَثْبُت عَنْ الصَّحَابَة رَضِيَ اللَّه عَنْهُمْ هُوَ بِدْعَة لِأَنَّهُ لَوْ كَانَ خَيْرًا لَسَبَقُونَا إِلَيْهِ لِأَنَّهُمْ لَمْ يَتْرُكُوا خَصْلَة مِنْ خِصَال الْخَيْر إِلَّا وَقَدْ بَادَرُوا إِلَيْهَا.
Tafsir Ibn Katsir 337/ 15
Adapun ahlus sunnah wal jamaah, mereka berkata setiap perbuatan atau perkataan yang tidak ada dalil sahih dari sahabat ra adalah bid`ah, sebab bila  itu baik mesti para sahabat sudah mengerjakannya lebih dulu. Sebab mereka tidak pernah meninggalkan perkara kebaikan, mereka pasti lebih dahulu menjalankannya.
Tentang asbabun Nuzul yang di jelaskan oleh sarkub dalam masalah ini  belum saya jumpai di kitab –kitab hadis milik saya. Saya  bisa menyatakan hadis budak Umar itu insya Allah lemah atau palsu
Di katakan dalam artikel tsb sbb:
Selanjutnya yang santer juga diucapkan oleh Salafy Wahabi yaitu “Asal Ibadah adalah haram”. Yang kami temui istilah yang tepat dan banyak disebut ulama adalah “Asal Ibadah adalah Tauqif” bisa dilihat di Kitab Fathul Bari dan beberapa Kitab Ushul Fiqh.
Komentarku ( Mahrus ali): 
Sebetulnya komentar sarkub itu gegabah bukan atas dasar penelitian ilmiyah tapi kebodohan.  Kaum salafy itu ada pijakan dari kitab syarah Bulughul maram sbb:
شرح بلوغ المرام - (ج 184 / ص 5)
كَمَا أَنَّ اْلأَصْلَ فِي الْعِبَادَةِ الْحَظْرُ مَا لَمْ يَأْتِ إِذْنٌ
……… sebagaimana asal dalam Ibadah adalah larangan selama tidak ada izin ………. Syarah Buklughul maram 184/5.
Keduanya  : Asal ibadah adalah tauqif dan Asal Ibadah adalah haram itu mirip – mirip. Hakikatnya  asal dalam Ibadah adalah larangan selama tidak ada izin itu juga tauqif. Dan tauqif itu menggunakan dalil. Bila  tidak ada dalil, maka  tidak di katakan tauqif. Dalil inilah yang di katakan izin.
Dikatakan dalam artikel tsb sbb:
Jadi dari penjelasan diatas jelas bahwa Ibadah yang dimaksud adalah Ibadah Mahdhah yaitu Ibadah yang hanya berhubungan dengan Allah dan telah lengkap dan sempurna penjelasannya dalam Qur’an dan Hadits. Seperti : Shalat, Puasa, Haji, Zakat, berikut syarat dan rukun yang mendampinginya.
Sedangkan pada Ibadah Ghairu Mahdhah yaitu Ibadah yang tidak berketatapan hukum mengikat tapi menjadikan penghubung untuk mencari ridha Allah, maka boleh diadakan selama tidak bertentangan dengan Qur’an dan hadits sahih.
Komentarku ( Mahrus ali): 
Disinilah penyimpangan sarkub bukan kejujurannya, kekeliruannya bukan kebenarannya. Mana dalilnya atas pernyataan Sarkub itu? Tiada  satupun dalil yang mendukungnya. Ini sama dengan berbuat dusta dalam agama atau boleh di katakan tidak jujur dalam menerangkan ajaran agama tapi dusta Ingatlah ayat:
أَمْ لَكُمْ سُلْطَانٌ مُبِينٌ(156)فَأْتُوا بِكِتَابِكُمْ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ أَمْ لَكُمْ سُلْطَانٌ مُبِينٌ(156)فَأْتُوا بِكِتَابِكُمْ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ
Atau apakah kamu mempunyai bukti yang nyata? Maka bawalah kitabmu jika kamu memang orang-orang yang benar. As shoffat 156-157
أَمْ لَكُمْ كِتَابٌ فِيهِ تَدْرُسُونَ(37)إِنَّ لَكُمْ فِيهِ لَمَا تَخَيَّرُونَ
Atau adakah kamu mempunyai sebuah kitab (yang diturunkan Allah) yang kamu membacanya?, bahwa di dalamnya kamu benar-benar boleh memilih apa yang kamu sukai untukmu. Al Qalam  37-38
Di katakan dalam artikel tsb sbb:
Bershalawat adalah perintah (sunnah muakkad) maka mengadakan maulid nabi Muhammad SAW untuk mengenal kehidupan Nabi, membangun kecintaan kepada beliau, termasuk bershalawat didalamnya adalah Sunnah”. Bershalawat adalah maqashidnya sedang memperingati maulid adalah wasailnya.
Komentarku ( Mahrus ali): 
Kesimpulan yang terahir ini sangat keliru bukan agak benar, salah sekali. Apakah tidak mengerti bahwa dalam maulid dan tahlilan, istighosahan banyak kesyirikannya?
Boleh di Klik lagi disini:
Karena itu ikutilah ayat ini:

وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ(100)
Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.100 Tobat.
Orang yang di ridhai oleh Allah adalah orang yang konsis dalam mengikuti para sahabat, bukan menyelisihinya.  Ahlus sunnah mengikuti para sahabat dan ahli bid`ah menyelisihinya lalu mengadakan maulidan, mankiban yang syirik, istighosahan dan tahlilan.
Bila tidak tahu dalilnya, berhentilah dan jangan di lanjutkan. Allah berfirman:
لاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولاً

               Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mengetahui dalilnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. 36 Isra`
Di katakan dalam artikel tsb sbb:
Dan hal itu sesuai dengan hadits Rasulullah SAW :
مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ
“Barang siapa yang menjalankan suatu sunnah yang baik didalam Islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya dan tidak berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan barangsiapa yang menjalankan suatu sunnah yang jelek didalam Islam, maka baginya dosanya dan dosa orang yang mengikutinya dan tidak dikurangkan sedikitpun dari dosanya” (HR. Imam Muslim Nomor 1017)
Komentarku ( Mahrus ali): 
Sunnah hasanah itu bukan tahlilan, maulidan dan segala macam kebid`ahan. Hadis itu juga harus di kaitkan dengan dalil:
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
Barangsiapa yang mengamalkan suatu amalan yang bukan berasal dari urusan (agama) kami, maka amalan itu tertolak” (Muttafaq ‘alaihi)
Sahabat Nabi, Abdullah bin Umar Radhiallahu’anhu berkata:
كُلَّ بٍدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَإِنْ رَآهَا النَّاسُ حَسَنَة
Setiap bid’ah itu sesat walaupun orang-orang menganggapnya baik” (Shahih, sebagaimana penilaian Al Albani dalam takhrij kitab Ishlaahul Masajid hal 13 milik Syaikh Jamaluddin Al Qashimi)

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu” (QS. Al Maidah: 3)

فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

“Hendaklah orang-orang yang menyelisihi perintah Allah itu takut akan ditimpa fitnah (cobaan) atau ditimpa azab yang pedih” (QS. An Nuur: 63

Artikel Terkait

1 komentar:

Pesan yang baik, jangan emosional.Bila ingin mengkeritisi, pakailah dalil yang sahih.Dan identitasnya jelas. Komentar emosional, tidak ditayangkan