Apakah Yang Tidak Dilakukan Rasulullah Adalah Bid’ah Sesat ?
Sangat sering kita membaca
atau mendengar ucapan, “Mana dalilnya ?”, “Kalau memang itu baik/benar mengapa
Rasulallah dan para sahabat tidak pernah melakukannya ?”, “Lau Kana Khairan Ma
Sabaquna ilaihi ?”, “Apakah Rasulallah dan sahabatnya pernah melakukannya ?”
dan lain sebagainya. Hal ini paling sering diucapkan oleh kelompok Salafy
Wahabi dalam memvonis amaliah pengikut I’tiqad Ahlus Sunnah Wal Jamaah, seperti
Yasinan, Tahlilan, Maulid Nabi Muhammad SAW., peringatan hari besar Islam,
bermazhab, sunahnya mengucap ushalli sebelum takbiratul ihram dan amalan
lainnya.
AT TARKPertanyaannya adalah apakah “At Tark” yaitu “Rasulallah meninggalkan atau tidak melakukan sesuatu” itu merupakan suatu hukum baru? Bisakah “At Tark” itu dijadikan alat untuk menghukumi suatu amaliah itu makruh atau bahkan haram ? Ataukah “At Tark” itu dianggap Salafy Wahabi hanya sebagai “jembatan” untuk diarahkan ke bid’ah dhalalah, yang semua tempatnya neraka?
Mari kita
bahas bersama bagaimana sebenarnya kedudukan “At Tark” ini. “At Tark” yang kita
pahami sebagai amaliah yang tidak dilakukan atau ditinggalkan oleh Rasulullah”
tidak secara langsung menghukumi sesuatu itu makruh atau haram atau sering
disebut kelompok Salafy Wahabi “Bid’ah (Dhalalah)”.
.
Hal ini bisa kita buktikan dari banyak sudut pandang,
yaitu :
1. Dari
sudut Ushul Fiqh, larangan jelas ditunjukkan
dengan tiga hal :
- Ada sighat nahi (berupa kalimat
larangan).
Contoh : ولا تقربوا الزن (Jangan kalian dekati zina)
- Ada Lafadz Tahrim (Lafadz
keharaman).
Contoh : إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ (Sesungguhnya Allah mengharamkan bagimu bangkai dst.)
- Ada Dzammul Fi’l (Celaan/ancaman
atas suatu perkara/amal)
Contoh : من غش فليس منا (Barang siapa memalsu maka bukan golongan kami)
Dari
ketiga dasar ushul fiqh tersebut tidak ada “At Tark” di salah satunya.
.
2.
Nash Qur’an menyebutkan :
وَمَا آَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا
نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
(“Apa yang diberikan Rosul bagimu terimalah, dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah” QS. Al Hasyr : 7)
(“Apa yang diberikan Rosul bagimu terimalah, dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah” QS. Al Hasyr : 7)
Disini
jelas nash Qur’an menggunakan lafadz “Naha” (dilarang), bukan “Tark”
(ditinggalkan/tidak pernah dilakukan)
.
3. Dalil
dari Hadits menyebutkan :
مَا
نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوهُ وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَافْعَلُوا مِنْهُ
مَا اسْتَطَعْتُمْ
( “Apa saja yang aku cegah atas kalian maka jauhilah (tinggalkanlah), dan apa-apa yang aku perintahkan pada kalian kerjakanlah semampu kalian”. HR. Bukhori Muslim)
( “Apa saja yang aku cegah atas kalian maka jauhilah (tinggalkanlah), dan apa-apa yang aku perintahkan pada kalian kerjakanlah semampu kalian”. HR. Bukhori Muslim)
Disini Rasulullah juga tidak mengatakan “Tark”
tapi “Nahi” (larangan yang jelas).
.
Jadi jelas sudah bahwa “At Tark” bukan sumber
hukum dan tidak bisa secara otomatis menghukumi sesuatu itu makruh atau haram.
Hal ini berbeda dengan qaidah yang baru dibuat oleh Salafy Wahabi yang
mengatakan “at-Tarku Yadullu ‘ala Tahrim”. Jelas ini mengada-ada.
.
LAU
KAANA KHAIRAN MA SABAQUUNA ILAIHIBerikutnya adalah sering kita baca atau dengar kalimat
لَوْ
كَانَ خَيْرًا مَّا سَبَقُونَا إِلَيْهِ
(Lau Kaana Khairan Maa Sabaquunaa
Ilaihi)
Yang diartikan secara asal-asalan
oleh Salafy Wahabi :
“Kalau
sekiranya perbuatan itu baik, tentulah para Shahabat telah mendahului kita
mengamalkannya”
Adakah kalimat itu dijadikan dasar hukum ? ataukah ada
sumber dari Ushul Fiqh?
Dengan tegas harus kita jawab
tidak ada hal tersebut sebagai sumber hukum untuk menilai halal/haram ataupun
bid’ah suatu amaliah. Dan yang paling penting kita ketahui kalimat itu
sebenarnya adalah ayat Qur’an surat Al Ahqaf ayat 11. Dalam
asbabun nuzul ayat tersebut menyatakan bahwa kalimat tersebut adalah kalimat
“orang kafir quraisy “ yang mempertanyakan masuk Islamnya “Zanin”, budak wanita
Sayyidina Umar ibn Khattab Ra. Sebelum beliau memeluk Islam.
.
.
Pantaskah
hal itu digunakan sebagai dalil menghukumi suatu amal ??? Dengan tegas jawab
tidak bisa. Bahkan hal itu jelas diucapkan oleh orang yang tidak punya ilmu.
.
ASAL IBADAH ADALAH TAUQIF
Selanjutnya yang santer juga diucapkan oleh Salafy Wahabi yaitu “Asal Ibadah adalah haram”. Yang kami temui istilah yang tepat dan banyak disebut ulama adalah “Asal Ibadah adalah Tauqif” bisa dilihat di Kitab Fathul Bari dan beberapa Kitab Ushul Fiqh.
ASAL IBADAH ADALAH TAUQIF
Selanjutnya yang santer juga diucapkan oleh Salafy Wahabi yaitu “Asal Ibadah adalah haram”. Yang kami temui istilah yang tepat dan banyak disebut ulama adalah “Asal Ibadah adalah Tauqif” bisa dilihat di Kitab Fathul Bari dan beberapa Kitab Ushul Fiqh.
Untuk jelasnya dalam Kitab Ushul
Fiqh :
الأصل
في العبادات التوقيف
وفي
هذه الليلة أود أن أقف عند قضية أساسية في العبادات جميعا وهي قاعدة معروفة عند
أهل العلم، أن الأصل في العبادات التوقيف كما أن الأصل في المعاملات
والعقود الإباحة، وهذه قاعدة نفيسة ومهمة جدا ونافعة للإنسان، فبالنسبة
للعبادات لا يجوز للإنسان أن يخترع من نفسه عبادة لم يأذن بها الله عز وجل،
بل لو فعل لكان قد شرع في الدين ما لم يأذن به الله، فلم يكن لأحد أن
يتصرف في شأن الصلاة أو الزكاة أو الصوم أو الحج زيادة أو نقصا أو تقديما أو
تأخيرا أو غير ذلك، ليس لأحد أن يفعل هذا، بل هذه الأمور إنما تتلقى عن
الشارع، ولا يلزم لها تعليل، بل هي كما يقول الأصوليون: غير معقولة المعنى، أو
تعبدية، بمعنى أنه ليس في عقولنا نحن ما يبين لماذا كانت الظهر أربعا،
والعصر أربعا، والمغرب ثلاثا، والفجر ركعتين، ليس عندنا ما يدل على ذلك إلا
أننا آمنا بالله جل وعلا، وصدقنا رسوله صلى الله عليه وسلم، فجاءنا بهذا
فقبلناه، هذا هو طريق معرفة العقائد وطريق معرفة العبادات، فمبناها على
التوقيف والسمع والنقل لا غير، بخلاف المعاملات والعقود ونحوها، فإن الأصل
فيها الإباحة والإذن إلا إذا ورد دليل على المنع منها، فلو فرض مثلا أن الناس
اخترعوا طريقة جديدة في المعاملة في البيع والشراء عقدا جديدا لم يكن
موجودا في عهد النبوة، وهذا العقد ليس فيه منع، ليس فيه ربا ولا غرر ولا
جهالة ولا ظلم ولا شيء يتعارض مع أصول الشريعة، فحينئذ نقول: هذا العقد مباح؛
.
التوقيف
في صفة العبادة
العبادة
توقيفية في كل شيء، توقيفية في صفتها -في صفة العبادة- فلا يجوز لأحد أن يزيد
أو ينقص، كأن يسجد قبل أن يركع مثلا أو يجلس قبل أن يسجد، أو يجلس للتشهد
في غير محل الجلوس، فهيئة العبادة توقيفية منقولة عن الشارع
.
التوقيف
في زمن العبادة
زمان
العبادة توقيفي -أيضا- فلا يجوز لأحد أن يخترع زمانا للعبادة لم ترد، مثل أن يقول
مثلا
.
التوقيف
في نوع العبادة
كذلك
لابد أن تكون العبادة مشروعة في نوعها، وأعني بنوعها أن يكون جنس العبادة
مشروعا، فلا يجوز لأحد أن يتعبد بأمر لم يشرع أصلا، مثل من يتعبدون بالوقوف في
الشمس، أو يحفر لنفسه في الأرض ويدفن بعض جسده ويقول:
أريد أن أهذب وأربي وأروض نفسي مثلا،
فهذه بدعة
.
التوقيف
في مكان العبادة
كذلك
مكان العبادة لابد أن يكون مشروعا، فلا يجوز للإنسان أن يتعبد عبادة في غير مكانها،
فلو وقف الإنسان -مثلا- يوم عرفة بالـمزدلفة فلا يكون حجا أو وقف بـمنى، أو
بات ليلة المزدلفة بـعرفة، أو بات ليالي منى بالـمزدلفة أو بـعرفة، فإنه
لا يكون أدى ما يجب عليه، بل يجب أن يلتزم بالمكان الذي حدده الشارع إلى غير
ذلك
.
Jika kita baca penjelasan
diatas, maka rangkumannya adalah Asal Ibadah adalah Tauqif (berhenti)
pada dalil yang jelas (sahih) baik Qur’an dan hadits. Pengertian berhenti
adalah mengikuti pada dalil yang sahih dari Qur’an dan hadits tidak boleh
dikurangi, ditambahi, mendahulukan ataupun mengakhirkan.
Dijelaskan selanjutnya tauqif itu mengikuti :
1. Tauqif
Sifat Ibadah (التوقيف في صفة العبادة)
dicontohkan dalam
penjelasannya :
“tidak boleh untuk menambah dan megurangi. seperti sujud sebelum ruku’,
atau duduk sebelum sujud, atau duduk tasyahud tidak pada tempatnya”
2. Tauqif
Waktu Ibadah (التوقيف في زمن العبادة)
dicontohkan dalam
penjelasannya :
“tidak boleh seseorang itu membuat buat ibadah di waktu tertentu yang
syari’ tidak memerintahkannya”
3. Tauqif
Macamnya Ibadah (التوقيف في نوع العبادة)
dicontohkan dalam
penjelasannya :
“tidak sah
bagi orang yang menyembah sesuatu yang tidak di syariatkan, seperti menyembah
matahari atau memendam jasadnya sebagian sembari berkata ” saya ingin melatih
badanku “ misalkan ini semua bid’ah.”
4. Tauqif
Tempat Ibadah (التوقيف في مكان العباد)
dicontohkan dalam
penjelasannya :
“jika seseorang wukuf di Muzdalifah, maka ini bukan haji, atau wuquf di
Mina, atau bermalam ( Muzdalifah ) di Arafah, dan sebaliknya, maka ini
semua bukanlah sesuatu yang masyru’. kita wajib melaksanakan ibadah sesuai
tempat yang sudah disyari’atkan oleh syari’
.
.
Jadi dari penjelasan diatas jelas bahwa Ibadah
yang dimaksud adalah Ibadah Mahdhah yaitu Ibadah yang hanya berhubungan
dengan Allah dan telah lengkap dan sempurna penjelasannya dalam Qur’an dan
Hadits. Seperti : Shalat, Puasa, Haji, Zakat, berikut syarat dan rukun yang
mendampinginya.
.
.
Maka dalam I’tiqad Ahlus
Sunnah Wal Jamaahpun jelas hal ini tidak boleh dikurangi, ditambahi,
mendahulukan ataupun mengakhirkan. Semua sudah dalam batasan yang jelas.
Sedangkan pada Ibadah
Ghairu Mahdhah yaitu Ibadah yang tidak berketatapan
hukum mengikat tapi menjadikan penghubung untuk mencari ridha Allah, maka boleh
diadakan selama tidak bertentangan dengan Qur’an dan hadits sahih.
Maka
secara umum dalam ushul fiqh terdapat suatu ijma’ ulama yaitu Lil Wasa’il Hukmul
Maqashid, artinya “Hukum untuk perantara sama dengan hukum tujuannya”.
Untuk
mudahnya contohnya adalah :
“Berzina
itu haram, maka menyediakan kamar/rumah untuk berzina itu juga haram”. Maka
Berzina itu maqashid (tujuannya) sedang menyediakan kamar/rumah untuk berzina
itu wasail (perantaranya). Jika kita cari hukum berzina jelas ada dalilnya,
tapi wasailnya tanpa dalil dia sudah berhukum haram.
“Bershalawat
adalah perintah (sunnah muakkad) maka mengadakan maulid nabi Muhammad SAW untuk
mengenal kehidupan Nabi, membangun kecintaan kepada beliau, termasuk
bershalawat didalamnya adalah Sunnah”. Bershalawat adalah maqashidnya sedang
memperingati maulid adalah wasailnya.
Dan masih banyak contoh yang
bisa kita ambil dalam Ibadah Ghairu Mahdhah seperti Yasinan, Tahlilan, Mengucap
ushalli dan lain sebagainya. Terpenting adalah hal tersebut dari sisi
maqashidnya tidak boleh bertentangan dengan Qur’an dan Hadits.
Demikianlah
pemahaman dalam I’tiqad Ahlus Sunnah Wal Jamaah yang mengikut junjungan kita
Rasulullah Muhammad Shalallahu ‘alaihi Wa Alihi Wasallam.
Maka jelas apa yang tidak dilakukan Rasulullah
bukan “bid’ah dhalalah (tersesat)”.
.
.
Dan hal itu sesuai dengan hadits
Rasulullah SAW :
مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ
سُنَّةً حَسَنَةً
فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ وَمَنْ سَنَّ
فِي
الْإِسْلَامِ سُنَّةً
سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ
أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ
“Barang siapa yang menjalankan suatu sunnah yang baik didalam Islam,
maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya dan tidak berkurang
sedikitpun dari pahalanya, dan barangsiapa yang menjalankan suatu sunnah yang
jelek didalam Islam, maka baginya dosanya dan dosa orang yang mengikutinya dan
tidak dikurangkan sedikitpun dari dosanya” (HR. Imam Muslim Nomor 1017)
Read more: http://www.sarkub.com/2012/apakah-yang-tidak-dilakukan-rasulullah-adalah-bidah-sesat/#ixzz2GOgMK7Q1
Follow us: @T_sarkubiyah on Twitter | 140014749377806 on Facebook
Komentarku ( Mahrus ali):
Saya menjawab artikel sarkub di atas
secara ringkas saja tidak panjang lebar, karena saya tidak memiliki waktu yang
banyak, saya hanya punya waktu sedikit.
Di katakan dalam artikel tsb sbb:
. Dari
sudut Ushul Fiqh, larangan jelas ditunjukkan
dengan tiga hal :
- Ada sighat nahi (berupa kalimat
larangan).
Contoh : ولا تقربوا الزن (Jangan kalian dekati zina)
- Ada Lafadz Tahrim (Lafadz
keharaman).
Contoh : إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ (Sesungguhnya Allah mengharamkan bagimu bangkai dst.)
- Ada Dzammul Fi’l (Celaan/ancaman
atas suatu perkara/amal)
Contoh : من غش فليس منا (Barang siapa memalsu maka bukan golongan kami)
Komentarku ( Mahrus ali):
Bukan tiga hal, masih banyak,
seperti la`na sebagaimana hadis:
لَعَنَ اللَّهُ مَنْ لَعَنَ وَالِدَهُ وَلَعَنَ اللَّهُ مَنْ ذَبَحَ
لِغَيْرِ اللَّهِ وَلَعَنَ اللَّهُ مَنْ آوَى مُحْدِثًا وَلَعَنَ اللَّهُ مَنْ
غَيَّرَ مَنَارَ الْأَرْضِ
…………… Semoga Allah melaknat orang yang melaknat orang tuanya,
semoga Allah melaknat orang yang
menyembelih bukan karena Allah, semoga
Allah melaknat orang yang memberi tempat kepada ahli bid`ah, semoga Allah
melaknat kepada orang yang merobah b atas tanah. HR Muslim dalam kitab sahihnya
173/10
Atau dengan menggunakan
ghodhiba atau marah sebagaimana ayat:
مَن كَفَرَ بِاللّهِ مِن بَعْدِ إيمَانِهِ إِلاَّ مَنْ أُكْرِهَ
وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالإِيمَانِ وَلَـكِن مَّن شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْراً
فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِّنَ اللّهِ وَلَهُمْ
عَذَابٌ عَظِيمٌ
16.106. Barangsiapa yang
kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali
orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak
berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka
kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar. Nahel 106
Dan masih banyak lagi
bukan sedikit redaksi al Quran atau hadis yang menunjukkan keharaman bukan
kehalalan
Di katakan dalam artikel tsb
sbb:
Dengan tegas harus kita jawab
tidak ada hal tersebut sebagai sumber hukum untuk menilai halal/haram ataupun
bid’ah suatu amaliah. Dan yang paling penting kita ketahui kalimat itu
sebenarnya adalah ayat Qur’an surat Al Ahqaf ayat 11. Dalam
asbabun nuzul ayat tersebut menyatakan bahwa kalimat tersebut adalah kalimat
“orang kafir quraisy “ yang mempertanyakan masuk Islamnya “Zanin”, budak wanita
Sayyidina Umar ibn Khattab Ra. Sebelum beliau memeluk Islam.
Komentarku ( Mahrus ali):
Salafy dalam
menggunakan kalimat : Lau kana khairan itu tidak bisa di salahkan, karena ibn
Katsir juga menggunakannya dalam kitab tafsirnya sbb: .
تفسير
ابن كثير - (ج 15 / ص 237)
وَأَمَّا
أَهْل السُّنَّة وَالْجَمَاعَة فَيَقُولُونَ فِي كُلّ فِعْل وَقَوْل لَمْ يَثْبُت
عَنْ الصَّحَابَة رَضِيَ اللَّه عَنْهُمْ هُوَ بِدْعَة لِأَنَّهُ لَوْ كَانَ
خَيْرًا لَسَبَقُونَا إِلَيْهِ لِأَنَّهُمْ لَمْ يَتْرُكُوا خَصْلَة مِنْ خِصَال
الْخَيْر إِلَّا وَقَدْ بَادَرُوا إِلَيْهَا.
Tafsir Ibn Katsir 337/ 15
Adapun ahlus sunnah wal
jamaah, mereka berkata setiap perbuatan
atau perkataan yang tidak ada dalil sahih dari sahabat ra adalah bid`ah, sebab
bila itu baik mesti para sahabat sudah
mengerjakannya lebih dulu. Sebab mereka tidak pernah meninggalkan perkara
kebaikan, mereka pasti lebih dahulu menjalankannya.
Tentang asbabun Nuzul yang di
jelaskan oleh sarkub dalam masalah ini
belum saya jumpai di kitab –kitab hadis milik saya. Saya bisa menyatakan hadis budak Umar itu insya
Allah lemah atau palsu
Di katakan dalam artikel tsb
sbb:
Selanjutnya yang santer juga
diucapkan oleh Salafy Wahabi yaitu “Asal Ibadah adalah haram”. Yang kami temui
istilah yang tepat dan banyak disebut ulama adalah “Asal Ibadah adalah Tauqif”
bisa dilihat di Kitab Fathul Bari dan beberapa Kitab Ushul Fiqh.
Komentarku ( Mahrus ali):
Sebetulnya komentar sarkub
itu gegabah bukan atas dasar penelitian ilmiyah tapi kebodohan. Kaum salafy itu ada pijakan dari kitab syarah
Bulughul maram sbb:
شرح بلوغ المرام - (ج 184 / ص 5)
كَمَا أَنَّ اْلأَصْلَ فِي الْعِبَادَةِ
الْحَظْرُ مَا لَمْ يَأْتِ إِذْنٌ
……… sebagaimana asal dalam Ibadah adalah
larangan selama tidak ada izin ………. Syarah Buklughul maram 184/5.
Keduanya : Asal ibadah adalah tauqif dan Asal Ibadah
adalah haram itu mirip – mirip. Hakikatnya
asal dalam Ibadah adalah larangan selama tidak ada izin itu juga tauqif.
Dan tauqif itu menggunakan dalil. Bila
tidak ada dalil, maka tidak di
katakan tauqif. Dalil inilah yang di katakan izin.
Dikatakan dalam artikel tsb
sbb:
Jadi dari penjelasan diatas jelas bahwa Ibadah yang
dimaksud adalah Ibadah Mahdhah yaitu Ibadah yang hanya berhubungan dengan Allah
dan telah lengkap dan sempurna penjelasannya dalam Qur’an dan Hadits. Seperti :
Shalat, Puasa, Haji, Zakat, berikut syarat dan rukun yang mendampinginya.
Sedangkan pada Ibadah Ghairu Mahdhah yaitu Ibadah yang tidak berketatapan hukum mengikat tapi menjadikan penghubung untuk mencari ridha Allah, maka boleh diadakan selama tidak bertentangan dengan Qur’an dan hadits sahih.
Sedangkan pada Ibadah Ghairu Mahdhah yaitu Ibadah yang tidak berketatapan hukum mengikat tapi menjadikan penghubung untuk mencari ridha Allah, maka boleh diadakan selama tidak bertentangan dengan Qur’an dan hadits sahih.
Komentarku ( Mahrus ali):
Disinilah penyimpangan sarkub
bukan kejujurannya, kekeliruannya bukan kebenarannya. Mana dalilnya atas
pernyataan Sarkub itu? Tiada satupun
dalil yang mendukungnya. Ini sama dengan berbuat dusta dalam agama atau boleh
di katakan tidak jujur dalam menerangkan ajaran agama tapi dusta Ingatlah ayat:
أَمْ لَكُمْ سُلْطَانٌ مُبِينٌ(156)فَأْتُوا
بِكِتَابِكُمْ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ أَمْ لَكُمْ سُلْطَانٌ مُبِينٌ(156)فَأْتُوا
بِكِتَابِكُمْ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ
Atau apakah kamu mempunyai
bukti yang nyata? Maka bawalah kitabmu jika kamu memang orang-orang yang benar.
As shoffat 156-157
أَمْ لَكُمْ كِتَابٌ فِيهِ تَدْرُسُونَ(37)إِنَّ
لَكُمْ فِيهِ لَمَا تَخَيَّرُونَ
Atau adakah kamu mempunyai
sebuah kitab (yang diturunkan Allah) yang kamu membacanya?, bahwa di dalamnya
kamu benar-benar boleh memilih apa yang kamu sukai untukmu. Al Qalam 37-38
Di katakan dalam artikel tsb
sbb:
Bershalawat
adalah perintah (sunnah muakkad) maka mengadakan maulid nabi Muhammad SAW untuk
mengenal kehidupan Nabi, membangun kecintaan kepada beliau, termasuk bershalawat
didalamnya adalah Sunnah”. Bershalawat adalah maqashidnya sedang memperingati
maulid adalah wasailnya.
Komentarku ( Mahrus ali):
Kesimpulan yang terahir ini
sangat keliru bukan agak benar, salah sekali. Apakah tidak mengerti bahwa dalam
maulid dan tahlilan, istighosahan banyak kesyirikannya?
Boleh di Klik lagi disini:
Karena itu ikutilah ayat ini:
وَالسَّابِقُونَ
الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ
بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ
تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ
الْعَظِيمُ(100)
Orang-orang yang terdahulu
lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang muhajirin dan anshar
dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka
dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga
yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya.
Itulah kemenangan yang besar.100 Tobat.
Orang yang di ridhai oleh
Allah adalah orang yang konsis dalam mengikuti para sahabat, bukan
menyelisihinya. Ahlus sunnah mengikuti
para sahabat dan ahli bid`ah menyelisihinya lalu mengadakan maulidan, mankiban
yang syirik, istighosahan dan tahlilan.
Bila tidak tahu dalilnya,
berhentilah dan jangan di lanjutkan. Allah berfirman:
لاَ
تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ
كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولاً
Di katakan dalam artikel tsb
sbb:
Dan hal itu sesuai dengan hadits
Rasulullah SAW :
مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ
سُنَّةً حَسَنَةً
فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ وَمَنْ سَنَّ
فِي
الْإِسْلَامِ سُنَّةً
سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ
أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ
“Barang siapa yang menjalankan suatu sunnah yang baik didalam Islam,
maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya dan tidak berkurang
sedikitpun dari pahalanya, dan barangsiapa yang menjalankan suatu sunnah yang
jelek didalam Islam, maka baginya dosanya dan dosa orang yang mengikutinya dan
tidak dikurangkan sedikitpun dari dosanya” (HR. Imam Muslim Nomor 1017)
Komentarku ( Mahrus ali):
Sunnah hasanah
itu bukan tahlilan, maulidan dan segala macam kebid`ahan. Hadis itu juga harus di
kaitkan dengan dalil:
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا
فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa
yang mengamalkan suatu amalan yang bukan berasal dari urusan (agama) kami, maka
amalan itu tertolak” (Muttafaq ‘alaihi)
Sahabat
Nabi, Abdullah bin Umar Radhiallahu’anhu berkata:
كُلَّ بٍدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَإِنْ رَآهَا
النَّاسُ حَسَنَة
“Setiap
bid’ah itu sesat walaupun orang-orang menganggapnya baik” (Shahih, sebagaimana
penilaian Al Albani dalam takhrij kitab Ishlaahul Masajid hal 13 milik Syaikh
Jamaluddin Al Qashimi)
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu” (QS. Al Maidah: 3)
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Hendaklah orang-orang yang menyelisihi perintah Allah itu takut akan ditimpa fitnah (cobaan) atau ditimpa azab yang pedih” (QS. An Nuur: 63
Artikel Terkait
Skak mat
BalasHapus