|
Oleh KH Luthfi Bashori
Banyak orang awam yang menyangka, maksud bertawassul itu adalah meminta bantuan kepada selain Allah sekaligus menyekutukan-Nya. Karena keawamannya terhadap syariat itulah, maka mereka menvonis syirik terhadap amalan tawassul ini.
Padahal bagi yang sedikit saja memahami syariat Islam dengan baik, maka akan dengan mudah membedakan antara bertawassul yang disunnahkan oleh Nabi SAW dengan perbuatan syirik yaitu perbuatan meminta bantuan dan menuhankan kepada selain Allah.
Kesalahan pertama yang sering terjadi di kalangan awam, adalah dalam memahami maksud ‘meminta pertolongan kepada selain Allah’. Umumnya mereka menggeneral permaslahan, dengan asumsi bahwa setiap amalan ‘meminta pertolongan kepada selain Allah’ dihukumi syirik.
Padahal jika saja setiap amalan ‘meminta pertolongan kepada selain Allah’ dihukumi syirik dan divonis akan menempati kerak neraka, maka betapa penuhnya isi neraka, dan betapa sepinya penduduk sorga nantinya. Karena bagaimana pun manusia hidup di dunia ini justru mengharuskan saling tolong menolong, baik sengaja maupun tidak.
Seorang yang akan makan nasi saja, jika diteliti pasti membutuhkan banyak pertolongan dari berbagai pihak, antara lain minta tolong kepada para petani agar menanam padi, petani juga minta tolong kepada pemilik pabrik agar membuatkan pupuk, pemilik pabrik juga minta tolong kepada tukang besi untuk membuatkan mesin seleb, demikian dan seterusnya.
Jelas-jelas mereka ini minta tolong kepada selain Allah, karena tidak mungkin orang yang akan makan nasi itu mengatakan : Ya Allah, kirimkan nasi kepada hamba, karena aku takut syirik jika minta tolong kepada petani…! Atau tidak mungkin si petani mengatakan : Ya Allah, kirimkanlah kepadaku pupuk, karena aku takut syirik jika minta tolong kepada pabrik… dst.
Coba pikirkan, jika ada seorang yang sedang tenggelam lantas dia berteriak minta tolong: Pak tolooong….tolooong…tolooong…! Apa lantas orang muslim yang kebetulan mendengarkan teriakan itu harus menjawab: Syirik…syirik…syirik ! dan membiarkannya tenggelam, apalagi dalam keadaan dihukumi ‘Syirik’ sebagaimana dalam pengertian awam?
Jika ada seorang anak yang akan melaksanakan Ujian Akhir Nasional, maka si anak mendatangi kedua orang tuanya dan mengatakan : Wahai ayah dan ibu, aku minta tolong kepada kalian berdua untuk mendoakanku biar aku lulus UAN dengan nilai yang baik…!
Bagaimana sebaiknya sikap ayah dan ibu ini dalam menghadapi anaknya yang minta tolong didoakan karena akan melaksanakan UAN ini? Apakah sebaiknya langsung saja ayah dan ibunya menvonis : Nak, engkau ini musyrik (berbuat syirik) karena engkau telah ‘meminta pertolongan kepada selain Allah.…!’.
Tentunya pengertian semacam ini salah, dan hanya terjadi pada kalangan sangat awam yang sama sekali tidak pernah mengenyam pendidikan agama sedikitpun. Karena yang benar menurut syariat, bahwa ‘meminta pertolongan kepada selain Allah’ itu ternyata tidak selalu dihukumi sebagai perbuatan syirik.
Sedangkan perbuatan syirik yang disebabkan ‘meminta pertolongan kepada selain Allah’ itu sendiri, ilustrasinya yang lebih mudah adalah semacam kehidupan dunia perdukunan. Yaitu seseorang yang meminta bantuan kepada makhluk halus (jin) untuk suatu kejahatan atau kepentingan yang lain, dengan benar-benar meyakini bahwa jin itulah yang dapat memberi bantuan dan pertolongan kepadanya demi terwujud harapan dan kepentingannya.
Semestinya cara memahami semacam inilah hakikat perbutan syirik itu, karena pelakunya telah menyekutukan Allah dengan menuhankan makhluk halus yang diyakini dapat membantu dan menolong dirinya.
MARI BERTAWASSUL…!!
Bertawassul yang umumnya dilakukan oleh umat Islam adalah meminta bantuan atau pertolongan kepada orang-orang shalih yang mempunyai kedudukan tinggi di sisi Allah, entah itu dari kalangan para nabi, atau para shahabat, para aulia, para ulama, para syuhada dan sebagainya, dengan tujuan agar orang-orang shalih itu memintakan dan mendoakan kepada Allah bagi orang yang bertawassul, agar Allah berkenan segera menunaikan hajat-hajatnya.
Jadi orang yang bertawassul itu bukan meminta pengkabulan hajatnya kepada orang-orang shalih itu, namun orang yang bertawassul tetap meminta pengkabulan hajatnya kepada Allah, hanya saja dia menjadikan orang-orang shalih itu sebagai perantara antara dirinya dengan Allah, lantaran dia meyakini jika orang-orang shalih itu yang berdoa bermohon kepada Allah untuk mengkabulkan hajatnya, maka Allah akan lebih berkenan mengkabulkan apa yang menjadi harapan orang yang bertawassul.
Demikian ini karena umumnya masyarakat awam menyadari jika dirinya adalah orang yang minus dan sangat kurang dalam urusan ibadah kepada Allah, bahkan merasa dirinya adalah hamba yang masih dipenuhi dengan kemaksiatan dan tumpukan dosa, yang mana jika mereka sendiri yang berdoa secara langsung kepada Allah, maka merasa lantunan doanya kurang memenuhi syarat sebagai doa yang mudah terkabulkan. Ini jauh berbeda dengan figur orang-orang shalih yang memang kehidupan mereka sudah sangat dekat kepada Allah, bahkan mereka diangkat menjadi para kekasih Allah, yang mana jika mereka berdoa maka Allah akan lebih mudah untuk mengabulkan doanya.
Allah berfirman yang artinya:
> Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kalian kepada Allah dan carilah wasilah (perantara) yang dapat mendekatkan diri kepada-Nya (QS. Almaidah, 35).
Nah, siapa lagi yang paling tepat untuk dijadikan wasilah (perantara) bagi masyarakat umum selain figur orang-orang shalih sebagai mana tersebut di atas, yang mana kehidupan mereka memang sudah sangat dekat dengan Allah ?
Apalagi Allah sendiri yang mengajarkan amalan tawassul ini dalam firman-Nya yang artinya:
> Dan sesungguhnya jikalau mereka (umat Islam) menganiaya diri mereka sendiri (dengan berbuat dosa), kemudian mereka datang kepadamu (Nabi Muhammad SAW, untuk bertawassul di saat Nabi SAW masih hidup maupun sesudah wafat), lalu mereka memohon ampun kepada Allah, dan Rasulullah SAW pun (sebagai wasilah) memohonkan ampunan (kepada Allah) bagi mereka, pasti mereka akan mendapati Allah adalah Dzat Yang Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang. (QS. Annisa, 64).
Sy. Anas Bin Malik meriwayatkan, bahwa tatkala Nabi SAW menguburkan jenazah St. Fathimah binti Asad (ibunda Sy. Ali bin Abi Thalib yang konon ikut merawat, mengasuh dan membesarkan Nabi SAW) maka Nabi SAW berdoa:
> Allah adalah Dzat Yang Maha Menghidupkan dan Maha Mematikan, dan Dia Maha Hidup yang tidak akan mati, ampunilah Bunda Fathimah binti Asad dan tuntunlah hujjah (bukti keimanan) baginya, serta lapangkanlah kuburannya, dengan wasilah (perantara) Nabi-Mu ini dan wasilah (perantara) para Nabi sebelumku, sesungguhnya Engkau adalah Dzat Yang Maha Penyayang. (HR. Atthabarani).
Dari Sy. Ibnu Abbas bahwa Nabi SAW bersabda: Sesungguhnya Allah memiliki para malaikat penjaga (Alhafadhah) di bumi, mereka mencatat daun-daun yang berjatuhan dari pepohonan, maka bila ada seorang dari kalian tersesat di padang yang luas hendaklah ia memanggil: Tolonglah wahai para hamba Allah ! (HR. Atthabarani dengan komentar dari Alhafidz Alhaitsami: Para perawinya tepercaya).
Diriwayatkan bahwa Sy. Umar bin Khatthab berkhutbah di hadapan orang banyak seraya berkata: Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Nabi SAW itu memperlakukan Al-abbas (pamanda beliau SAW) layaknya perlakuan seorang anak terhadap orang tuanya, maka ikutilah perilaku Nabi SAW kepada pamandanya Al-abbas ini dan jadikanlah beliau Al-abbas sebagai wasilah kepada Allah. (HR. Alhakim dalam kitabnya Almustadrak). Riwayat ini menerangkan lebih jelas alasan tawassulnya Sy. Umar sendiri yang berwasilah (perantara) dengan Al-abbas.
Figur Al-abbas sebagai orang shalih yang dijadikan wasilah (perantara) oleh nabi SAW ini, secara otomatis mewakili bolehnya bertawassul kepada Allah dengan perantara orang-orang shalih dari kalangan para wali kekasih Allah, seperti umat Islam Indonesia bertawassul dengan perantara para Walisongo yaitu figur-figur orang yang pertama kali telah memperkenalkan ajaran Islam kepada nenek moyang bangsa Indonesia, baik nenek moyang dari kalangan warga Aswaja yang tetap setia dan istiqamah berpegang teguh terhadap aqidah peninggalan para Walisongo itu, maupun nenek moyang dari orang-orang yang telah menyeberang kepada aqidah lainnya dan sekaligus mengingkari, mengkhianati bahkan memusuhi para Walisongo.
Perlu diingat, sekalipun para Walisongo itu sekarang dhahirnya sudah wafat, namun mereka sebagai pejuang-pejuang penyebar agama Islam di muka bumi Indonesia hakikatnya seperti yang difirmankan oleh Allah yang artinya:
> Dan jangan sekali-kali engkau menyangka orang-orang yang terbunuh (yang gugur syahid) pada jalan Allah itu mati, (mereka tidak mati) bahkan mereka adalah hidup (secara istimewa) di sisi Tuhan mereka dengan mendapat rezeki,
> (dan juga) mereka bersukacita dengan karunia Allah (sebagai balasan mati Syahid) yang telah dilimpahkan kepada mereka, dan mereka bergembira dengan berita baik mengenai (saudara-saudaranya) orang-orang Islam (yang sedang berjuang), yang masih tinggal di belakang, yang belum (mati dan belum) sampai kepada mereka, (yaitu) bahwa tidak ada kebimbangan (dan keraguan terhadap mereka) dan mereka juga tidak akan bersedih.
> Mereka bergembira dengan balasan nikmat dari Allah dan limpah karunia-Nya, dan (ingatlah), bahwa Allah tidak menghilangkan pahala orang-orang yang beriman. (QS. Ali Imran, 169-171).
Mari bertawassul dan melestarikanya, mumpung ketemu dalilnya…!
Komentarku ( Mahrus ali):
Saya
tidak perlu menjawab dengan panjang lebar, cukup ringkas saja, karena
seluruhnya telah terjawab dengan lengkap dalam buku karya saya: “ Sesat tanpa sadar
“ atau bisa di baca disini http://mantankyainu.blogspot.com/2011/04/kesesatan-lbm-nu-jember-ke-tiga.html
Di katakan dalam artikel tsb sbb:
Padahal jika saja
setiap amalan ‘meminta pertolongan kepada selain Allah’ dihukumi syirik dan
divonis akan menempati kerak neraka, maka betapa penuhnya isi neraka, dan
betapa sepinya penduduk sorga nantinya. Karena bagaimana pun manusia hidup di
dunia ini justru mengharuskan saling tolong menolong, baik sengaja maupun tidak.
Seorang yang akan makan nasi saja, jika diteliti pasti membutuhkan banyak pertolongan dari berbagai pihak, antara lain minta tolong kepada para petani agar menanam padi, petani juga minta tolong kepada pemilik pabrik agar membuatkan pupuk, pemilik pabrik juga minta tolong kepada tukang besi untuk membuatkan mesin seleb, demikian dan seterusnya.
Jika ada seorang anak yang akan melaksanakan Ujian Akhir Nasional, maka si anak mendatangi kedua orang tuanya dan mengatakan : Wahai ayah dan ibu, aku minta tolong kepada kalian berdua untuk mendoakanku biar aku lulus UAN dengan nilai yang baik…!
Seorang yang akan makan nasi saja, jika diteliti pasti membutuhkan banyak pertolongan dari berbagai pihak, antara lain minta tolong kepada para petani agar menanam padi, petani juga minta tolong kepada pemilik pabrik agar membuatkan pupuk, pemilik pabrik juga minta tolong kepada tukang besi untuk membuatkan mesin seleb, demikian dan seterusnya.
Jika ada seorang anak yang akan melaksanakan Ujian Akhir Nasional, maka si anak mendatangi kedua orang tuanya dan mengatakan : Wahai ayah dan ibu, aku minta tolong kepada kalian berdua untuk mendoakanku biar aku lulus UAN dengan nilai yang baik…!
Komentarku ( Mahrus ali):
Kalau masalah minta
tolong sesama manusia waktu masih hidupnya bukan orang yang dimintai
pertolongan itu sudah mati, maka boleh – boleh saja, why not, no problem, tiada larangan,bahkan ada anjuran
untuk saling tolong menolong dalam kebaikan,
masih bertauhid bukan syirik.lihat ayat:
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُوا عَلَى
اْلإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ شَدِيدُ الْعِقَاب
Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan
dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan
bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya. [1]
Di katakan dalam
artikel tsb sbb:
Sedangkan perbuatan syirik yang disebabkan ‘meminta pertolongan kepada selain Allah’ itu sendiri, ilustrasinya yang lebih mudah adalah semacam kehidupan dunia perdukunan. Yaitu seseorang yang meminta bantuan kepada makhluk halus (jin) untuk suatu kejahatan atau kepentingan yang lain, dengan benar-benar meyakini bahwa jin itulah yang dapat memberi bantuan dan pertolongan kepadanya demi terwujud harapan dan kepentingannya.
Semestinya cara memahami semacam inilah hakikat perbutan syirik itu, karena pelakunya telah menyekutukan Allah dengan menuhankan makhluk halus yang diyakini dapat membantu dan menolong dirinya.
Sedangkan perbuatan syirik yang disebabkan ‘meminta pertolongan kepada selain Allah’ itu sendiri, ilustrasinya yang lebih mudah adalah semacam kehidupan dunia perdukunan. Yaitu seseorang yang meminta bantuan kepada makhluk halus (jin) untuk suatu kejahatan atau kepentingan yang lain, dengan benar-benar meyakini bahwa jin itulah yang dapat memberi bantuan dan pertolongan kepadanya demi terwujud harapan dan kepentingannya.
Semestinya cara memahami semacam inilah hakikat perbutan syirik itu, karena pelakunya telah menyekutukan Allah dengan menuhankan makhluk halus yang diyakini dapat membantu dan menolong dirinya.
Komentarku ( Mahrus ali):
Ini good, nice, okey,
no problem, thoyyib, jamil, benar, bukan salah.
Di katakan dalam
artikel tsb sbb:
Bertawassul yang umumnya dilakukan oleh umat Islam adalah meminta bantuan atau pertolongan kepada orang-orang shalih yang mempunyai kedudukan tinggi di sisi Allah, entah itu dari kalangan para nabi, atau para shahabat, para aulia, para ulama, para syuhada dan sebagainya, dengan tujuan agar orang-orang shalih itu memintakan dan mendoakan kepada Allah bagi orang yang bertawassul, agar Allah berkenan segera menunaikan hajat-hajatnya.
Demikian ini karena umumnya masyarakat awam menyadari jika dirinya adalah orang yang minus dan sangat kurang dalam urusan ibadah kepada Allah, bahkan merasa dirinya adalah hamba yang masih dipenuhi dengan kemaksiatan dan tumpukan dosa, yang mana jika mereka sendiri yang berdoa secara langsung kepada Allah, maka merasa lantunan doanya kurang memenuhi syarat sebagai doa yang mudah terkabulkan. Ini jauh berbeda dengan figur orang-orang shalih yang memang kehidupan mereka sudah sangat dekat kepada Allah, bahkan mereka diangkat menjadi para kekasih Allah, yang mana jika mereka berdoa maka Allah akan lebih mudah untuk mengabulkan doanya.
Komentarku ( Mahrus ali):
Perlu dalil yang
jelas, bukan akal – akalan bahwa mayat itu bisa mendoakan. Mayat bisa berdoa itu bertentangan dengan ayat:
إِنَّكَ لاَ تُسْمِعُ الْمَوْتَى
Maka
sesungguhnya kamu tidak akan sanggup menjadikan orang-orang yang mati itu dapat
mendengar
وَمَا أَنْتَ بِمُسْمِعٍ مَنْ
فِي اْلقُبُوْرِ
dan kamu sekali-kali
tiada sanggup menjadikan orang yang di dalam kubur dapat mendengar Fathir 22
Di katakan dalam
artikel tsb sbb:
> Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kalian kepada Allah dan carilah wasilah (perantara) yang dapat mendekatkan diri kepada-Nya (QS. Almaidah, 35).
Nah, siapa lagi yang paling tepat untuk dijadikan wasilah (perantara) bagi masyarakat umum selain figur orang-orang shalih sebagai mana tersebut di atas, yang mana kehidupan mereka memang sudah sangat dekat dengan Allah ?
> Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kalian kepada Allah dan carilah wasilah (perantara) yang dapat mendekatkan diri kepada-Nya (QS. Almaidah, 35).
Nah, siapa lagi yang paling tepat untuk dijadikan wasilah (perantara) bagi masyarakat umum selain figur orang-orang shalih sebagai mana tersebut di atas, yang mana kehidupan mereka memang sudah sangat dekat dengan Allah ?
Komentarku ( Mahrus ali):
Wasilah dalam ayat tsb
bukan mayat, tapi amal perbuatan yang baik.
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا
اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُوا فِي سَبِيلِهِ
لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Hai orang-orang yang
beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri
kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan.
Al maidah 35
Dalam kitab Syarah Al
Kurkhi diterangkan bahwa Imam Abu Hanifah berkata: “ Tidak ada dalil bagi seorang yg berdo`a kepada Allah
dengan perantara makhlukNya Abu Yusuf
juga tidak senang seseorang berkata: “Aku tidak suka seseorang berkata :…
dengan hak fulan…………..
Al Qaduru berkata: “
Di larang berdo`a kepada Allah dengan “ bihaqqi ………”. Sebab
bagi makhluk tidak memiliki hak atas Allah
قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: أَيْ
اْلقُرْبَةُ، وَقَالَ قَتَادَةُ: أَيْ تَقَرَّبُوا إِلَيْهِ بِطَاعَتِهِ
وَاْلعَمَلُ بِمَا يُرْضِيْهِ،
Ibnu
Abbas berkata : Maksud wasilah adalah taqarrub – pendekatan diri pada Allah.
Qatadah
juga berkata : Maksudnya mendekatlah
kepada Allah dengan taat kepadaNya dan
melakukan amal yang merelakanNya. [2]
Jadi arti wasilah itu
bukan bertawassul kepada para nabi atau wali yang sudah wafat lebih dulu.
terkadang kita tidak kenal kepada wali itu, apalagi wali itu di makamkan di negara
Iraq, Ribat dll. Lalu kita yang berada di Sulawesi, Aceh atau
Sampang memanggil namanya ketika berdoa akan lebih sulit di nalar lagi di samping
landasan amaliyah seperti itu tidak ada, tidak diperkenankan menggunakan akal,
tapi harus wahyu hadis atau alqur`an.
Sedang hadis dan alQuran tidak ada yang menuntun seperti itu, lalu apa
jadinya kita ini, ikut hawa nafsu dan budaya lingkungan atau ikut ajaran agama yang hanif.
Di katakan dalam
artikel tsb sbb:
Ø Dan sesungguhnya jikalau mereka (umat
Islam) menganiaya diri mereka sendiri (dengan berbuat dosa), kemudian mereka
datang kepadamu (Nabi Muhammad SAW, untuk bertawassul di saat Nabi SAW masih
hidup maupun sesudah wafat), lalu mereka memohon ampun kepada Allah, dan Rasulullah
SAW pun (sebagai wasilah) memohonkan ampunan (kepada Allah) bagi mereka,
pasti mereka akan mendapati Allah adalah Dzat Yang Maha Penerima tobat lagi
Maha Penyayang. (QS. Annisa, 64).
Komentarku ( Mahrus ali):
Ayat
tsb konteknya ketika Rasulullah SAW masih hidup didunia bukan terkubur di bawah
pusara di alam Barzakh.
Tapi
anda mentafsiri sendiri bahwa ayat itu bisa digunakan ketika Rasulullah SAW
telah meninggal dunia. Ini kekeliruan bukan kebenaran, penyimpangan pengertian
ayat bukan kejujuran,menyesatkan bukan menyelamatkan.
تَفْسِيْرُ
السَّعْدِي - (ج 1 / ص 184)
وَهَذَا
الْمَجِيْءُ إِلَى الرَّسُولِ صلى الله عليه وسلم مُخْتَصٌّ بِحَيَاتِهِ؛ ِلأَنَّ
السِّيَاقَ يَدُلُّ عَلَى ذَلِكَ لِكَوْنِ اْلاِسْتِغْفَارِ مِنَ الرَّسُوْلِ لاَ
يَكُوْنُ إِلاَّ فِي حَيَاتِهِ، وَأَمَّا بَعْدَ مَوْتِهِ فَإِنَّهُ لاَ يُطْلَبُ
مِنْهُ شَيْءٌ بَلْ ذَلِكَ شِرْكٌ.
Datang
kepada Rasulullah SAW ini husus ketika
beliau masih hidup, karena kenteknya menunjukkan sedemikian. Sebab Rasulullah
SAW yang memintakan ampun ini tidak akan terjadi kecuali ketika hidupnya. Untuk
setelah matinya, maka beliau tidak boleh dimintai sesuatu, bahkan itu
kesyirikan. Tafsir assa`di 184/1
Komentarku ( Mahrus ali):
Apa yang di katakan oleh Syaikh Abd Rahman bin
Nashir assa`di pengarang Tafsir assa`di itu adalah benar, tiada kesalahannya.
Buktinya tiada sahabat yang minta – minta
kepada Rasulullah SAW setelah wafatnya. Pada hal waktu hidupnya banyak
dan tidak sedikit sahabat yang minta doanya.
Di
katakan dalam artikel tsb sbb:
menguburkan jenazah St. Fathimah binti Asad (ibunda Sy. Ali bin Abi Thalib yang konon ikut merawat, mengasuh dan membesarkan Nabi SAW) maka Nabi SAW berdoa:
> Allah adalah Dzat Yang Maha Menghidupkan dan Maha Mematikan, dan Dia Maha Hidup yang tidak akan mati, ampunilah Bunda Fathimah binti Asad dan tuntunlah hujjah (bukti keimanan) baginya, serta lapangkanlah kuburannya, dengan wasilah (perantara) Nabi-Mu ini dan wasilah (perantara) para Nabi sebelumku, sesungguhnya Engkau adalah Dzat Yang Maha Penyayang. (HR. Atthabarani).
Komentarku ( Mahrus ali):
قَالَ الْهَيْثَمِي
فِي ( مَجْمَعِ الزَّوَائِدِ ) :
( رَوَاهُ الطَّبْرَانِي فِي الْكَبِيْرِ وَاْلأَوْسَطِ
وَفِيْهِ رَوْحٌ بْنُ صَلاَحٍ ، وَثَّقَهُ ابْنُ حِبَّانَ وَالْحَاكِمُ وَفِيْهِ ضُعْفٌ
، وَبَقِيَّةُ رِجَالِهِ رِجَالُ الصَّحِيْحِ ).
قُلْتُ: وَمِنْ
طَرِيْقِ الطَّبْرَانِي رَوَاهُ أَبُوْ نُعَيْمٍ فِي ( حِلْيَةِ اْلأَوْلِيَاء ِ)
وَإِسْنَادُهُ عِنْدَهُمَا ضَعِيْفٌ ، ِلأَنَّ رَوْح بْنَ صَلاَحٍ الَّذِي فِي إِسْنَادِِهِ
قَدْ تَفَرَّدَ بِهِ ، كَماَ قاَلَ أَبُوْ نُعَيْمٍ نَفْسُهُ ، وَرَوْحٌ ضَعَّفَهُ
ابْنُ عَدِي. وَقَالَ ابْنُ يُوْنُسَ: رُوِيَتْ عَنْهُ مَنَاكِيْرُ ، وَقاَلَ الدَّارُقُطْنِي:
( ضَعِيْفٌ فِي الْحَدِيْثِ ) وَقَالَ ابْنُ مَا كُوْلاَ: ( ضَعَّفُوْهُ ) وَقَالَ
ابْنُ عَدِي بَعْدَ أَنْ أَخْرَجَ لَهُ حَدِيْثَيْنِ: ( َلهُ أَحَادِيْثُ كَثِيْرَةٌ
، فِي بَعْضِهَا نُكْرَةٌ ) فَقَدْ اتَّفَقُوا عَلَى تَضْعِيْفِهِ فَكَانَ حَدِيْثُهُ
مُنْكَرًا لِتَفَرُّدِهِ بِهِ.
وَقَدْ ذَهَبَ
بَعْضُهُمْ إِلَى تَقْوِيَةِ هَذَا الْحَدِيْثِ لِتَوْثِيْقِ ابْنِ حِبَّانَ وَالْحَاكِمِ
لِرَوْحٍ هَذَا ، وَلَكِنْ ذَلِكَ لاَ يَنْفَعُهُمْ ، ِلمَا عُرِفَا بِهِ مِنَ التَّسَاهُلِ
فِي التَّوْثِيْقِ ، فَقَوْلُهُمَا عِنْدَ التَّعَارُضِ لاَ يُقَامُ لَهُ وَزْنٌ حَتىَّ
لَوْ كَانَ الْجَرْحُ مُبْهَمًا ، فَكَيْفَ مَعَ بَيَانِهِ كَمَا هِيَ الْحَالُ هُنَا
، وَقَدْ فَصَّلْتُ اْلكَلاَمَ عَلَى ضُعْفِ هَذَا الْحَدِيْثِ فِي ( السِّلْسِلَةِ
الضَّعِيْفَةِ-23 ) فَلاَ نُعِيْدُ الْكَلاَمَ عَلَيْهِ فِي هَذِهِ اْلعُجَالَةَ ،
التوسل
102
Al
haitami dalam kitab Majma`uz zawa`id
berkata :
Hadis
tentang wafatnya Fatimah di riwayatkan oleh Thabrani dalam Mu`jam al kabir dan al ausath, namun
perawinya terdapat Rauh bin Solah. Menurut Ibnu Hibban dan Al Hakim, dia terpercaya. Perawinya selain itu
adalah perawi sahih Bukhari.
Ada
kekeliruan terjemahan dari Tim Penulis LBM NU
cabang Jember dimana mereka menerjemahkan sedangkan perawi –
perawi yang lain termasuk perawi hadis sahih.
Mestinya adalah ………………….. perawi
hadis sahih Bukhari. Ada tambahan terjemahan
yang di sengaja oleh Tim Penulis LBM NU
cabang Jember yaitu. Karena itu
hadis ini bernilai hasan.
Tambahan itu berbahaya, seolah memberikan
kesan bahwa Al hafizh Al Haitami yang mengatakan begitu, pada hal tidak.
Al
albani berkata : Dari jalur Thabrani,
Abu Nuaim meriwayatkannya dalam Hilyatul auliya` Sanadnya menurut keduanya adalah
lemah. Sebab Rauh bin Solah secara sendirian meriwayatkan hadis tsb sebagaimana
di katakan oleh Abu Nuaim sendiri. Rauh juga di lemahkan oleh Ibnu Ady.
Ibnu
Yunus berkata : Beberapa hadis mungkar diriwayatkan dari padanya.
Daroquthni berkata :
Hadisnya lemah.
Ibnu
makula berkata : Mereka menyatakan lemah kepadanya.
Ibnu
Ady berkata setelah meriwayatkan dua
hadisnya :
Dia punya banyak hadis, sebagiannya mungkar. Sungguh ulama telah sepakat
kelemahannya. Jadi hadisnya mungkar karena
dia meriwayatkan sendirian.
Sebagian ulama berpendapat untuk menguatkan hadis itu karena Ibnu Hibban dan Al Hakim
menyatakan dia terpercaya. Tapi tiada
gunanya karena sudah populer
keduanya mudah membikin tsiqah.
Jadi
pendapat keduanya waktu bertentangan ,
tiada nilainya , walaupun masih
cacatnya perawi itu masih samar.
Bagaimanakah bila telah jelas
sebagaimana saat ini. Sungguh aku telah memperpanjang lebar keterangan atas kelemahan hadis tsb dalam kitab
Assilsilatudh dho`ifah 23. Karena itu, saya tidak mengulangi keterangan
lagi disini [3].
Sanadnya
dalam kitab Mu`jam ausath karya Thobroni sbb:
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ حَمَّادٍ بْنِ زَغْبَةَ قَالَ : نَا رَوْحٌ
بْنُ صَلاَحٍ قَالَ : نَا سُفْيَانُ الثَّوْرِي ، عَنْ عَاصِمٍ اْلأَحْوَلِ ، عَنْ
أَنَسٍ بْنِ مَالِكٍ
Bercerita kepada kami Ahmad bin Hammad bin Zaghbah berkata : Bercerita
kepada kami Rauh bin Solah lalu berkata
: Bercerita kepada kami Sufyan ats
tsauri dari Ashim al ahwal dari Anas bin Malik ………
Imam
Thabrani berkata :
لَمْ يَرْوِ هَذَا الْحَدِيْثَ عَنْ عَاصِمٍ اْلأَحْوَلِ إِلاَّ سُفْيَانُ
الثَّوْرِي ، تَفَرَّدَ بِهِ : رَوْحٌ بْنُ صَلاَحٍ
Tidak meriwayatkan kepada hadis tsb dari Ashim Al
ahwal kecuali Sofyan Ats tsauri, dan Rauh bin Shalah yang meriwayatkannya secara sendirian. [4]
Saya katakan : Imam Bukhari, Muslim, Abu Dawud,
Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad tidak meriwayatkan hadis tsb. Imam Dzahabi dan Ibnu hajar tidak
menyebutnya dalam kitab Tahdzibnya. Ash
shofdi berkata :
رَوْحٌ بْنُ
صَلاَحٍ بْنِ سِيَابَةَ الْحَارِثِي الْمَوْصِلِي. ذَكَرَهُ ابْنُ حِبَّانَ فِي
الثِّقَاتِ. وَقَالَ ابْنُ عَدِي: ضَعِيْفٌ. تُوُفِّيَ سَنَةَ ثَلاَثٍ وَثَلاَثِيْنَ
وَمِائَتَيْنِ.
Rauh
bin Shalah bin Siyabah al Haritsi al maushili , Ibnu Hibban
mencantumkannya dalam kitab Ats tsiqat
. Ibnu Ady menyatakan dia lemah .
Wafat pada tahun 233 H. [5]
Di
katakan dalam artikel tsb sbb:
Dari Sy. Ibnu Abbas bahwa Nabi SAW bersabda: Sesungguhnya Allah memiliki para malaikat penjaga (Alhafadhah) di bumi, mereka mencatat daun-daun yang berjatuhan dari pepohonan, maka bila ada seorang dari kalian tersesat di padang yang luas hendaklah ia memanggil: Tolonglah wahai para hamba Allah ! (HR. Atthabarani dengan komentar dari Alhafidz Alhaitsami: Para perawinya tepercaya).
Dari Sy. Ibnu Abbas bahwa Nabi SAW bersabda: Sesungguhnya Allah memiliki para malaikat penjaga (Alhafadhah) di bumi, mereka mencatat daun-daun yang berjatuhan dari pepohonan, maka bila ada seorang dari kalian tersesat di padang yang luas hendaklah ia memanggil: Tolonglah wahai para hamba Allah ! (HR. Atthabarani dengan komentar dari Alhafidz Alhaitsami: Para perawinya tepercaya).
Komentarku ( Mahrus ali):
Hadis
tsb juga di buat dalil oleh Syiah dalam memperkenankan tawassul dengan mayat. [6]
وَقاَلَ
الْحَافِظُ : هَذَا حَدِيْثٌ حَسَنُ اْلِإسْنَادِ غَرِيْبٌ جِدًّا ، أَخْرَجَهُ الْبَرَّارُ
وَقَالَ : لاَ نَعْلَمُهُ يُرْوَى عَنِ النَّبِي صلى الله عليه وسلم بِهَذَا اللَّفْظِ
إِلاَّ مِنْ هَذَا الْوَجْهِ بِهَذَا اْلإِسْنَادِ.
Al
Hafizh berkata : Hadis tsb, sanadnya
hasan nyeleneh sekali. HR Al Bazzar. beliau berkata : Kami tidak
mengetahui hadis tsb dari Nabi SAW kecuali dengan lafzh tsb dan dari jalur ini.
Menurut
syekh Nashiruddin al albani sbb:
وَ اْلأَرْجَحُ
أَنَّهُ مَوْقُوْفٌ
Yang rajih, hadis tsb mauquf.
Jadi
ada kemungkinan Ibnu Abbas menerima
kabar tsb dari ahli kitab yang
sudah masuk Islam. Dan hadis tsb
dimasukkan oleh al albani dalam hadis dha`if [7]
Sanad
hadis tsb sbb :
حَدَّثَنَا
مُوْسَى بْنُ إِسْحَاقَ : حَدَّثَنَا مِنْجَابٌ بْنُ الْحَارِثِ : حَدَّثَنَا حَاتِمٌ بْنُ إِسْمَاعِيْلَ
عَنْ أُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ [ عَنْ أَبَانَ ] ابْنِ صَالِحٍ عَنْ مُجَاهِدٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ
Bercerita
kepada kami Musa bin Ishaq, ber cerita
kepada kami Minjab bin Al Harits , bercerita kepada kami Hatim bin Isma`il dari Usamah bin Zaid dari Aban bin
Shaleh dari Mujahid dari Ibnu Abbas.
Aban
bin Shaleh menurut Ibnu Hajar adalah :
صَدُوْقٌ
يَهِمُ
Perawi
yang selalu berkata benar yang sering
keliru.
Untuk
perawi bernama Usamah bin Zaid,
maka ulama berkomentar sbb:
وَ قَالَ
عَبْدُ الله بْنُ أَحْمَدَ عَنْ أَبِيْهِ : رَوَى عَنْ نَافِعٍ أَحَادِيْثَ مَنَاكِيْرَ
، قَالَ : فَقُلْتُ لَهُ : أَرَاهُ حَسَنَ
الْحَدِيْثِ ، فَقَالَ : إِنْ تَدَبَّرْتَ حَدِيْثَهُ فَسَتَعْرِفُ فِيْهِ النُّكْرَةَ.
كاَنَ يَحْيَى بْنُ سَعِيْدٍ يُضَعِّفُهُ
وَ قَالَ
أَبُوْ حَاتِمٍ : يُكْتَبُ حَدِيْثُهُ وَ لاَ يُحْتَجُّ بِهِ.
وَ قَالَ
النَّسَائِى : لَيْسَ بِالْقَوِى.
وَ قَالَ اْلبَرْقِى عَنِ ابْنِ
مَعِيْنٍ : أَنْكَرُوا عَلَيْهِ أَحَادِيْثَ.
قَالَ الدَّارُقُطْنىِ : فَمِنْ
أَجْلِ هَذاَ تَرَكَهُ اْلبُخَارِى.
Abdullah
bin Ahmad dari ayahnya berkata : Usmah bin Zaid meriwayatkan hadis - hadis mungkar dari Nafi `.
Aku
berkata : Saya lihat hadisnya baik.
Imam
Ahmad berkata : Bila kamu renungi hadisnya, maka kamu akan mengetahui
kemungkarannya atau keanehannya.
Yahya
bin Said menyatakan Usmah bin Zaid adalah perawi lemah.
Abu
Hatim berkata : Hadisnya boleh ditulis
tapi tidak boleh dibuat hujjah.
Imam
Nasai berkata : Dia tidak kuat
Al
Barqi berkata dari Ibnu Ma`in : Mereka mungkar
hadisnya.
Daroquthni
berkata : Karena itu, Imam Bukhari meninggalkan riwayatnya. [8]
Itulah
komentar tentang Usamah bin Zaid salah satu perawi hadis : أَعِيْنُوا
عِبَادَ اللهِ.
Saya
salut dengan Al albani yang memasukkan
hadis tsb dalam hadis yang lemah.
Tentang
Al haitami menyatakan perawi – peawinya
terpercaya itu pendapat pribadi, yang boleh di pegang atau boleh juga di tinggalkan dan semua orang begitulah kata Imam Syafii.
Di
katakan dalam artikel tsb sbb:
Diriwayatkan bahwa Sy. Umar bin Khatthab berkhutbah di hadapan orang banyak seraya berkata: Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Nabi SAW itu memperlakukan Al-abbas (pamanda beliau SAW) layaknya perlakuan seorang anak terhadap orang tuanya, maka ikutilah perilaku Nabi SAW kepada pamandanya Al-abbas ini dan jadikanlah beliau Al-abbas sebagai wasilah kepada Allah. (HR. Alhakim dalam kitabnya Almustadrak). Riwayat ini menerangkan lebih jelas alasan tawassulnya Sy. Umar sendiri yang berwasilah (perantara) dengan Al-abbas.
Diriwayatkan bahwa Sy. Umar bin Khatthab berkhutbah di hadapan orang banyak seraya berkata: Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Nabi SAW itu memperlakukan Al-abbas (pamanda beliau SAW) layaknya perlakuan seorang anak terhadap orang tuanya, maka ikutilah perilaku Nabi SAW kepada pamandanya Al-abbas ini dan jadikanlah beliau Al-abbas sebagai wasilah kepada Allah. (HR. Alhakim dalam kitabnya Almustadrak). Riwayat ini menerangkan lebih jelas alasan tawassulnya Sy. Umar sendiri yang berwasilah (perantara) dengan Al-abbas.
Komentarku ( Mahrus ali):
Hadis tsb juga di buat pegangan oleh syi`ah untuk memperbolehkan tawassul dengan para wali sekalipun sudah meninggal dunia [9]
Kali
ini ingin saya jelaskan bahwa sayyidina Umar tidak bertawassul kepada
Rasulullah SAW yang sudah meninggal
dunia, tapi bertawassul kepada Al
abbas yang masih hidup – maksudnya minta doa
Al abbas yang masih hidup.
Mengapa
Umar tidak bertawassul kepada Rasulullah
SAW yang lebih afdhal dari pada Al abbas.
Sebab, al abbas masih hidup dan beliau juga di perintah oleh Umar untuk
berdoa saat kemarau itu, dan Umar tidak minta
doa kepada Nabi SAW yang sudah di bawah pusara. Inilah poin penting yang
membuat banyak orang lengah. Yaitu Umar
minta doa kepada Al abbas, tidak minta doa
kepada Rasulullah SAW yang sudah meninggal dunia. Hadis tsb juga
diriwayatkan oleh Ibnu Sa`ad dalam kitab Thobaqat 4/28-29. Ibnu hajar berkata :
وَقَدْ بَيَّنَ الزُّبَيْرُ بْنُ
بَكَارٍ فِي اْلأَنْسَابِ صِفَةَ مَا دَعَا بِهِ اْلعَبَّاسُ فِي هَذِهِ
اْلوَاِقعَةِ وَالْوَقْتِ اَّلذِي وَقَعَ فِيْهِ ذَلِكَ, فَأَخْرَجَ بِإِسْنَادٍ
لَهُ أَنَّ اْلعَبَّاسَ لَمَّا اسْتَسْقَى بِهِ عُمَرُ قَالَ " اَلَّلهُمَّ
إِنَّهُ لَمْ يَنْزِلْ بَلاَءٌ إِلاَّ بِذَنْبٍ, وَلَمْ يُكْشَفْ إِلاَّ
بِتَوْبَةٍ, وَقَدْ تَوَجَّهَ اْلقَوْمُ بِي إِلَيْكَ لِمَكَانِي مِنْ نَبِيِّكَ,
وَهَذِهِ أَيْدِيْنَا إِلَيْكَ بِالذُّنُوْبِ وَنَوَاصِيْنَا إِلَيْكَ
بِالتَّوْبَةِ فَاسْقِنَا اْلغَيْثَ. فَأَرْخَتِ السَّمَاءُ مِثْلُ الْجِبَالِ
حَتَّى أَخْصَبَتِ اْلأَرْضَ
Sungguh
Zubair bin Bakar dalam kitab al ansab menjelaskan tentang sifat doa Al abbas
dalam kasus itu dan waktunya, lalu dia meriwayatkan dengan sanadnya bahwa Al abbas ketika Umar minta doa kepadanya berkata :
Ya
Allah ! Sesungguhnya setiap bala` yang
diturunkan karena dosa, dan tidak akan lenyap
kecuali dengan tobat. Sungguh
orang – orang menghadap kepadaku untuk berdoa kepadaMu karena
posisiku dihadapan NabiMu. Inilah tangan – tangan kami yang penuh dosa
menghadap kepadaMu dan Ubun – ubun kami
menyatakan tobat kepadaMu , berilah kami hujan. Lantas langit berawan laksana gunung
lalu menurunkan hujan hingga bumi
menjadi subur. [10]
Jadi pada hakikatnya bukan tawassul dalam
arti yang telah di pahami masarakat kita tapi Umar minta doa kepada Al Abbas
lalu Al Abbas berdoa. ……………….
Al
albani berkata :
وَلَيْسَ مَعْنَاهُ أَنَّهُمْ
كَانُوا يَقُوْلُوْنَ فِي دُعَائِهِمْ:
اَللَّهُمَّ بِجَاهِ نَبِيِّكَ
اسْقِنَا ، ثُمَّ أَصْبَحُوا يَقُوْلُوْنَ بَعْدَ وَفَاتِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ : اَللَّهُمَّ بِجَاهِ الْعَبَّاسِ اسْقِنَا ، ِلأَنَّ مِثْلَ هَذَا
دُعَاءٌ مُبْتَدِعٌ لَيْسَ لَهُ أَصْلٌ فِي اْلكِتَابِ وَلاَ فِي السُّنَّةِ ،
وَلَمْ يَفْعَلْهُ أَحَدٌ مِنَ السَّلَفِ الصَّالِحِ
Ma`na
hadis tsb bukan mereka berkata waktu berdoa :
Ya Allah ! dengan pangkat nabiMu, berilah hujan kami. Ahirnya setelah wafat Rasulullah SAW, mereka berkata : Ya Allah ! Ya Allah ! Dengan
pangkat Al abbas, berilah hujan kami,
sebab doa seperti itu bid`ah, tidak
memiliki rujukan dari kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW juga tiada satupun
dari generasi salaf yang melakukannya [11].
Komentar
penulis buku ; Jadi jelas sudah tawassul kepada mayat menurut al albani tidak
ada dalilnya.
Di
katakan dalam artikel tsb sbb:
Ø Dan jangan sekali-kali engkau menyangka
orang-orang yang terbunuh (yang gugur syahid) pada jalan Allah itu mati,
(mereka tidak mati) bahkan mereka adalah hidup (secara istimewa) di sisi Tuhan
mereka dengan mendapat rezeki,
> (dan juga) mereka bersukacita dengan karunia Allah (sebagai balasan mati Syahid) yang telah dilimpahkan kepada mereka, dan mereka bergembira dengan berita baik mengenai (saudara-saudaranya) orang-orang Islam (yang sedang berjuang), yang masih tinggal di belakang, yang belum (mati dan belum) sampai kepada mereka, (yaitu) bahwa tidak ada kebimbangan (dan keraguan terhadap mereka) dan mereka juga tidak akan bersedih.
> (dan juga) mereka bersukacita dengan karunia Allah (sebagai balasan mati Syahid) yang telah dilimpahkan kepada mereka, dan mereka bergembira dengan berita baik mengenai (saudara-saudaranya) orang-orang Islam (yang sedang berjuang), yang masih tinggal di belakang, yang belum (mati dan belum) sampai kepada mereka, (yaitu) bahwa tidak ada kebimbangan (dan keraguan terhadap mereka) dan mereka juga tidak akan bersedih.
Komentarku ( Mahrus ali):
Ayat itu untuk orang sahid, dan tiada dari
kalangan sahabat Nabi SAW, bukan sahabat Abu jahal yang bertawassul kepada
orang yang mati sahid, sekalipun anak nya.Dan mereka berdoa langsung pada Allah tanpa perantara
waliyullah atau wali – walian sesuai dengan ayat:
وَقَالَ
رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ
عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ
Dan Tuhanmu berfirman: "Berdo`alah kepada-Ku,
niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan
diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina
dina". ( Ghofir 60 ).
Pergilah
ke blog kedua http://www.mantankyainu2.blogspot.com/
Dan kliklah 4 shared mp3
jangan di panahnya.
Artikel Terkait
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Pesan yang baik, jangan emosional.Bila ingin mengkeritisi, pakailah dalil yang sahih.Dan identitasnya jelas. Komentar emosional, tidak ditayangkan